BAB I
PENDAHULUAN
Skripsi Keperawatan
1.1 Latar Belakang
Kebijakan pemerintah dalam pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 menempatkan kesehatan ibu dan anak sebagai prioritas penting karena anak adalah harapan bangsa di masa yang akan datang. Kemajuan bangsa di masa mendatang akan sangat tergantung dari kondisi kesehatan anak saat ini.
Dalam rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 terdapat beberapa program unggulan yang berhubungan dengan kesehatan anak yaitu program perbaikan gizi, penanggulangan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, peningkatan kesehatan keluarga, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, kesehatan lingkungan pemukiman, air dan udara sehat dan pencegahan kecelakaan. Program-program tersebut dilakukan melalui upaya kesehatan seperti pemeriksaan ibu hamil, imunisasi, pertolongan persalinan, penanggulangan penyakit-penyakit penyebab kematian, deteksi dini dan stimulasi tumbuh kembang anak serta upaya kesehatan sekolah.
Beberapa indikator terkait dengan kesejahteraan anak menjadi indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan terutama dalam menilai keberhasilan pelayanan kesehatan dan pembangunan di bidang kesehatan. Indikator tersebut adalah angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita (AKABA).
Angka kematian bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) adalah jumlah kematian bayi di bawah usia 1 tahun per 1000 kelahiran hidup. Angka ini merupakan indikator yang sensistif terhadap ketersediaan, pemanfaatan dan kualitas pelayanan kesehatan terutama pelayanan perinatal. AKB juga berhubungan dengan pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu dan keadaan gizi keluarga.
Angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2000 berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) adalah 44 per 1000 kelahiran hidup. Sementara estimasi SUSENAS, angka kematian bayi pada tahun 2001 adalah 50 per 1000 kelahiran hidup. Kematian bayi tersebut disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti yang tercantum pada tabel di bawah ini :
Tabel 1.1
Proporsi Penyakit Penyebab Kematian Bayi di Indonesia Tahun 2001
No. | Jenis Penyakit | % |
1. | Gangguan Perinatal | 34,7 % |
2. | Sistem Pernafasan | 24,6 % |
3. | Diare | 9,4 % |
4. | Sistem Pencernaan | 4,3 % |
5. | Gejala Tidak Jelas | 4,1 % |
6. | Tetanus | 3,4 % |
7. | Syaraf | 3,2 % |
Sumber : SURKESNAS 2001
Indikator selanjutnya adalah angka kematian balita (AKABA). Angka kematian balita adalah jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian balita ini menggambarkan keadaan lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan.
Angka kematian balita pada tahun 2001 menurut SUSENAS adalah 64 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab kematian balita menurut SUSENAS 2001 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1.2
Pola Penyakit Penyebab Kematian Balita di Indonesia Tahun 2001
Pola Penyakit Penyebab Kematian Balita di Indonesia Tahun 2001
No. | Jenis Penyakit | % |
1. | Sistem Pernafasan | 22,8 % |
2. | Diare | 13,2 % |
3. | Syaraf | 11,8 % |
4. | Tifus | 11,1 % |
5. | Sistem Pencernaan | 5,9 % |
6. | Infeksi Lain | 5,1 % |
Sumber : SURKESNAS 2001 Skripsi Keperawatan
Berdasarkan data di atas maka penyebab terbanyak kematian bayi dan balita adalah gangguan perinatal dan penyakit-penyakit sistem pernafasan. Menurut Yunanto, dkk (2003) upaya menurunkan angka kematian bayi dilakukan dengan mempercepat usaha rujukan agar bayi resiko tinggi dapat segera mendapat pertolongan. Bayi-bayi yang termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi adalah bayi berat lahir rendah (BBLR), asfiksia pada bayi baru lahir, kejang, sesak nafas, perut kembung, kuning pada bayi dan perdarahan pada bayi.
Rujukan pelayanan kesehatan ini terutama ditujukan kepada bayi baru lahir beresiko tinggi yang mengalami kegawatan perinatal atau perinatal distress. Kegawatan perinatal disebabkan oleh berbagai gangguan yang berpotensi meningkatkan kematian atau kesakitan pada neonatus. Akibat gangguan tersebut bayi akan sakit sehingga pertumbuhannya terhambat atau kemampuan adaptasinya terganggu atau bahkan menimbulkan kematian.
Kegawatan perinatal ini bisa terjadi pada bayi aterm maupun preterm, bayi dengan berat lahir cukup maupun dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR yang pretrem berpotensi mengalami kegawatan lebih besar. Berbagai jenis kegawatan yang sering dijumpai di lapangan dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas cukup tinggi serta penanganan segera yaitu trauma kelahiran, asfiksia neonatorum, sindroma gawat nafas neonatus, hiperbilirubinemia, infeksi, kejang dan renjatan atau syok (Yunanto, dkk, 2003).
Kegawatan pernafasan juga dapat terjadi pada bayi dengan penyakit pernafasan dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi berupa terjadinya henti nafas atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan pada sistem pernafasan adalah terjadinya kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh.
bayi akan beradapatasi terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama, metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat. Dengan memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain (Yu dan Monintja, 1997). Selanjutnya dapat terjadi depresi pernafasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang bahkan dapat menyebabkan kematian.
Depresi nafas yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang hanya dapat diatasi dengan pemberian oksigen dengan tekanan positif, massase jantung eksternal dan koreksi keadaan asidosis. Hanya setelah oksigenasi dan perfusi jaringan diperbaiki maka aktivitas respirasi dimulai (Yu dan Monintja, 1997).
Pendapat tersebut menekankan pentingnya tindakan resusitasi dengan segera. Makin lambat dimulainya tindakan resusitasi yang efektif maka akan makin lambat pula timbulnya usaha nafas dan makin tinggi pula resiko kematian dan kecacatan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nelson (1999) yang menyatakan bahwa peluang keberhasilan tata laksana penderita dengan henti nafas menitikberatkan pada pentingnya kemampuan tata laksana karena peningkatan hasil akhir pasca henti pernafasan dihubungkan dengan kecepatan dilakukannya resusitasi jantung paru.
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekwat (Rilantono, 1999). Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat (sekitar 4 – 6 menit).
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Resusitasi pada anak yang mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis yang harus dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis (Hudak dan Gallo, 1997).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Apabila perilaku didasari pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku bersifat langgeng (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang luas. Terbentuknya suatu perilaku baru terutama pada orang dewasa dimulai dari domain kognitif, dalam arti subjek terlebih dahulu mengetahui terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek luarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subyek tersebut.
Pengetahuan perawat tentang resusitasi merupakan modal yang sangat penting untuk pelaksanaan tindakan resusitasi pada situasi kritis. Pengetahuan ini menentukan keberhasilan tindakan resusitasi. Pengetahuan tentang resusitasi didapat melalui pendidikan, pelatihan atau pengalaman selama bekerja.
Pengetahuan tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon harus dikuasai dengan baik oleh perawat karena RSUD Gunung Jati Cirebon adalah rumah sakit
BAB II
BAB III
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
Skripsi Keperawatan
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan objek atau peristiwa yang bertujuan untuk mengetahui keadaan yang terjadi pada saat sekarang (Notoatmodjo, 2002).
Pada penelitian ini, peneliti ingin memperoleh gambaran tentang pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus yang mengalami gawat nafas di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 1998). Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan perawat tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi pada neonatus di ruang NICU, Perinatologi dan Ruang Anak di RSUD Gunung Jati Cirebon.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian, yang meliputi keseluruhan elemen yang ada dalam wilayah penelitian (Arikunto, 1998). Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon berjumlah 35 orang yang terdiri dari perawat di Ruang NICU sebanyak 12 orang, 10 orang perawat Ruang Perinatologi dan 13 orang perawat Ruang Anak.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 1998). Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan tehnik sampling jenuh, yaitu tehnik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini dilakukan karena jumlah populasi relatif kecil (Sugiono,1999).
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di Ruang NICU, Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon yang berjumlah 35 perawat (total sampling).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan instrumen berupa angket yang berisi beberapa pertanyaan tertutup yang harus diisi oleh responden.
Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 1998). Jenis kuisioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup, dimana pada setiap item pertanyaan responden memilih jawaban yang disediakan yang terdiri dari empat jawaban dengan skala ordinal. Jawaban yang benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah diberi nilai 0 sehingga data yang diperoleh merupakan data berskala nominal dikotomus.
Pada saat pengumpulan data, peneliti mendampingi responden secara langsung dalam pengisian kuesioner, sehingga apabila responden kurang jelas dengan maksud pertanyaan, bisa langsung bertanya pada peneliti.
3.5 Prosedur Pengumpulan Data
Peneliti memberikan penjelasan terlebih dahulu tentang maksud dan tujuan penelitian. Setelah mendapat persetujuan dari responden, kemudian responden mengisi dan menandatangani lembar persetujuan . Setelah itu kuesioner dapat langsung digunakan dan diisi oleh respoden.
3.6 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk kuesioner yang digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan responden. Kuesioner ini sebelumnya telah diuji terlebih dahulu ketepatannya sebagai alat ukur dengan cara uji validitas dan reliabilitas.
Uji instrumen dilaksanakan di RSUD Arjawinangun pada tanggal 28 – 30 November 2005 terhadap 10 orang perawat Ruang Perinatologi dan Ruang Anak.
3.6.1 Uji Validitas
Validitas adalah ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan dan keshahihan suatu instrumen (Arikunto, 1998). Disamping itu juga validitas menunjukan sejauh mana item pertanyaan pada kuesioner mampu menggambarkan konsep yang diukur.
Data hasil penelitian merupakan skor minimal dikotomus, maka digunakan korelasi point biserial untuk menguji validitas item pada kuesioner. Koefisien korelasi point biserial dihitung dengan rumus :
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN DAN SARAN
Skripsi Keperawatan
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang “Pengetahuan Perawat tentang Kegawatan Nafas dan tindakan Resusitasi pada Neonatus yang Mengalami Kegawatan Pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon” yang dilaksanakan pada tanggal 2 sampai 12 Desember 2005 dapat disimpulkan bahwa:
- Pengetahuan perawat tentang konsep kegawatan pernafasan pada neonatus yang mengalami kegawatan pernafasan sebagian besar (65%) adalah baik.
- Pengetahuan perawat tentang konsep asuhan keperawatan pada neonatus yang mengalami kegawatan pernafasan sebagian besar (78%) adalah baik.
- Pengetahuan perawat tentang konsep, tujuan dan tindakan resusitasi pada neonatus dengan kegawatan pernafasan sebagian besar (55%) adalah kurang.
Secara umum pengetahuan perawat tentang konsep kegawatan pernafasan dan konsep asuhan keperawatan pada neonatus dengan kegawatan pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak adalah cukup, hal ini dilatarbelakangi oleh tingkat pendidikan yang sebagian besar adalah DIII keperawatan dan pengalaman bekerja sebagian besar perawat yang relatif lama.
Sedangkan pengetahuan perawat tentang konsep resusitasi dan tindakan resusitasi sebagian besar kurang, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pelatihan yang berhubungan dengan penatalaksanaan kegawatan pernafasan, misalnya pelatihan resusitasi. Kurangnya pengetahuan tentang konsep resusitasi dan tindakan resusitasi akan berdampak pada hasil akhir tindakan resusitasi berupa tidak tercapainya tujuan resusitasi yang dapat mengakibatkan kecacatan atau bahkan kematian.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyarankan:
5.2.1 Bagi Rumah Sakit
5.2.1 Bagi Rumah Sakit
- Pihak rumah sakit bertanggung jawab memberikan fasilitas dan sarana yang memadai bagi tenaga keperawatan untuk meningkatkan pengetahuan keperawatan baik berupa pelatihan ataupun pendidikan berjenjang dalam rangka memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.
- Ruangan yang mempunyai tingkat pelayanan kritis yang tinggi seperti ruang intensif disarankan perawat yang bekerja mempunyai pendidikan minimal DIII Keperawatan dan mempuyai sertifikasi untuk melakukan tindakan resusitasi.
5.2.2 Bagi Tenaga Profesi Keperawatan
Pengetahuan dan keilmuan keperawatan senantiasa mengalami kemajuan dan perubahan pesat sehingga untuk dapat memberikan pelayanan prima dituntut tenaga profesional, sehingga pengetahuan, sikap dan keterampilan perawat harus selalu ditingkatkan baik dengan mengikuti pelatihan atau pendidikan yang bersifat formal maupun nonformal.
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi calon peneliti selanjutnya, dapat meneliti tentang gambaran pelaksanaan tindakan resusitasi yang dilakukan oleh perawat pada neonatus yang mengalami kegawatan pernafasan di Ruang NICU maupun di Ruang Perinatologi.
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. 2003. ACLS: Principles and Practice.
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.Jakarta : Bina Aksara
Arikunto, S. 2003 Manajemen Penelitian. Cetakan ke enam. Jakarta : PT Rineka Cipta
Hudak,CM dan Gallo, BM. 1997. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Alih Bahasa Monika E. dkk. Edisi VI, Volume I . Jakarta : EGC
Indonesia. Departemen Kesehatan, Pusat Data Statistik. 2002. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Departemen Kesehatan RI
Jumiarni dkk. 1995. Asuhan Keperawatan Perinatal. Jakarta : EGC
Markum, AH. 1999. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Nelson, B. 2000. Ilmu Kesehatan Anak vol 2 edisi 15. Jakarta : EGC
Ngastiyah. 1997.Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta