I. Komposisi Penduduk Jawa Tengah.
Tabel 1. Beberapa indikator penduduk Jawa Tengah menurut SP 2010.
Indikator
|
Jateng
|
Sex Rasio
|
98,8
|
Dependency Rasio
|
50,31
|
Density (orang/km2)
|
995
|
Median Umur (Th)
|
30,06
|
Laju Pertumbuhan Penduduk (%)
|
0,37
|
Penduduk (orang)
|
32.382.657
|
Dari
tabel 1 tersebut diatas menunjukkan bahwa : jumlah penduduk Jawa Tengah
32.382.657 pada tahun 2010, lebih rendah dari proyeksi penduduk tahun
2010 yaitu sebesar 33,09 juta, dengan sex rasio 98,8 (laki-laki
16.091.112, dan perempuan 16.291.545), median umur (th) 30,06, sedangkan laju pertumbuhan penduduknya 0,37 terendah tingkat Nasional (1,49). Dependency rasio/ angka ketergantungan 50,31 lebih rendah dari nasional (51,33), dengan density/ kepadatan penduduk 995 orang per/km2 jauh lebih tinggi dibanding Nasional 124 orang per/km2, hampir 14 persen penduduk Indonesia ada di Jawa Tengah.
Piramida
penduduk Jawa Tengah 2010 merupakan sebuah gambaran stuktur penduduk
yang sangat menarik untuk dilakukan kajian, karena dari piramida
tersebut dapat diketahui jumlah penduduk berdasar pengelompokan umur dan
jenis kelamin. Dari piramida tersebut dapat dilihat beberapa hal yang
sangat menarik untuk dilakukan kajian, antara lain yaitu pada perbedaan jumlah penduduk berdasar kelompok umur dimana terdapat :
a. Penduduk balita dan anak-anak : 0 -14 th : 8.515.767 (26,73%)
b. Penduduk Usia produktif :15-65 th : 21.543.349 (65,72%)
c. Penduduk Lansia : 65 keatas : 2.323.541 ( 7,55%)
Kondisi tersebut dalam ilmu demografi disebut Triple Burden, yaitu setiap kelompok umur tersebut berjumlah
besar dalam periode yang sama, sehingga berakibat pada meningkatnya
beban pemerintah dalam hal penyiapan fasilitas kesehatan baik untuk
anak-anak, lansia, pendidikan, dan penyedian lapangan kerja.
Untuk mengetahui
lebih jauh kondisi kependudukan di Jawa Tengah berdasarkan hasil sensus
penduduk 2010, maka diperlukan analisis beberapa variabel yang
mempunyai pengaruh terhadap program kependudukan dan keluarga berencana
antara lain : jumlah penduduk menurut kelompok umur, jumlah penduduk
menurut jenis kelamin, jumlah penduduk menurut kelompok umur sekolah,
dan dependency ratio.
1.1 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
Tabel 1.1 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Umur
|
Jenis Kelamin
|
Total
| |
Laki-laki
|
Perempuan
| ||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
| | | |
0 – 4
|
1 395 222
|
1 316 049
|
2 711 271
|
5 – 9
|
1 451 901
|
1 377 463
|
2 829 364
|
10 – 14
|
1 529 409
|
1 445 723
|
2 975 132
|
15 – 19
|
1 396 945
|
1 315 854
|
2 712 799
|
20 – 24
|
1 153 174
|
1 192 603
|
2 345 777
|
25 – 29
|
1 269 389
|
1 318 987
|
2 588 376
|
30 – 34
|
1 249 893
|
1 279 398
|
2 529 291
|
35 – 39
|
1 193 061
|
1 229 691
|
2 422 752
|
40 – 44
|
1 181 798
|
1 237 565
|
2 419 363
|
45 – 49
|
1 075 720
|
1 122 667
|
2 198 387
|
50 – 54
|
936 893
|
937 424
|
1 874 317
|
55 – 59
|
739 978
|
687 457
|
1 427 435
|
60 – 64
|
485 944
|
538 874
|
1 024 818
|
65 – 69
|
401 455
|
467 238
|
868 693
|
70 – 74
|
299 511
|
386 369
|
685 880
|
75 +
|
330 802
|
438 166
|
768 968
|
TT
|
17
|
17
|
34
|
| | | |
JAWA TENGAH
|
16 091 112
|
16 291 545
|
32 382 657
|
Sumber : BPS Sensus Penduduk Tahun 2010
Dari 32,3 juta penduduk Jawa Tengah jika dirinci menurut kelompok umur, maka akan diperoleh angka sebagai berikut
: Pada kelompok umur 0-14 tahun ada 26,73 %, kelompok umur 15-64 tahun
berjumlah 65,72 %, dan kelompok umur 65 tahun ke atas berjumlah 7,55 %.
Angka tersebut menunjukkan bahwa Jawa Tengah hampir menikmati Bonus Demografi,
yakni jumlah penduduk usia produktif 15-64 tahun hampir dua kali lipat
dari kelompok umur tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).
Hanya yang menjadi masalah, apakah kelompok usia produktif itu termasuk
penduduk yang bermutu, karena data BPS (2010) menunjukkan ada 5.204.437
jiwa penduduk Jawa Tengah yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu,
alias menjadi setengah penganggur.
Berdasarkan
analisis penduduk menurut kelompok umur tersebut maka permasalahan yang
dihadapi pemerintah Provinsi Jawa Tengah adalah :
1) Program Kependudukan dan Keluarga Berencana. Pernyataan ini terkait dengan relatif besarnya jumlah penduduk kelompok umur 0-4
tahun dan 5-9 tahun. Hasil SP 2010 memang menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan penduduk (LPP) Jawa Tengah hanya 0,37 % dan tercatat
terendah di Indonesia. Namun jika melihat besarnya kelompok umur balita,
maka tersirat bahwa LPP yang rendah tersebut bukan karena turunnya
angka kelahiran, karena angka Total Fertility Rate
(TFR) di Jawa Tengah masih 2,3. Demikian pula rasio anak terhadap
wanita di Jawa Tengah melonjak tajam dari 128 balita per 1000 wanita
menjadi 318,62 balita per 1000 wanita. Ini artinya fertilitas makin
tinggi di Jawa Tengah. Dengan kata lain, rendahnya LPP hampir dapat
dipastikan karena sebab lain, misalnya migrasi keluar, dan pernyataan
ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Program KKB yang perlu ditingkatkan adalah :
a. Sosialisasi
dan penyuluhan agar usia kawin pertama ditingkatkan karena data BPS
(2010) menyebutkan jumlah pasangan usia subur (PUS) usia 20-24 tahun di
Jateng masih tinggi yakni 54,81 persen dari Wanita Usia Subur (WUS) pada
tahun 2009 dan justru naik menjadi 59,77 persen pada tahun 2010. Jika
PUS ini berusia semakin muda, maka kesempatan untuk melahirkan anak
makin besar. Rata-rata usia kawin pertama untuk perempuan di Jateng
adalah 22,27 tahun dan untuk laki-laki 26,72 tahun, bahkan untuk
perdesaan angka itu lebih kecil lagi yakni 20,90 tahun untuk perempuan
dan 25,80 untuk laki-laki (BPS,2010);
b. Peningkatan
quality of care para peserta KB karena data yang dicatat BPS (2010),
masih ada 18,26 persen PUS yang tidak ber-KB dengan alasan takut efek
samping, 6,15 persen tidak tahu KB, 1,57 persen tidak tahu alat atau
cara KB, dan 23,73 persen karena alasan lainnya. Jika
ada penyuluhan dan jaminan keselamatan dari petugas kesehatan KB, maka
angka ini dapat ditekan. Ini artinya harus ada program KB yang
benar-benar berwawasan quality of care yakni mendekati peserta KB dengan
penuh empati serta menjamin keberlangsungan keselamatan dalam ber KB;
Jika ini dilakukan, maka keikutsertaan PUS untuk ber KB akan meningkat
yang kini hanya berada pada angka 63,85 persen saja. Artinya ada 36,15
persen PUS yang tidak ber KB. Harap dicatat bahwa keikutsertaan ini
berkurang artinya jika tidak dipantau dan dipertahankan
keberlangsungannya, apalagi yang menggunakan Metoda Kontrasepsi Jangka
Panjang mengalami penurunan dari 19,06 persen pada tahun 2009 menjadi 18,26 persen pada tahun 2010. Mereka yang ber KB dengan alat KB jangka pendek rawan DO.
2) Penyiapan
program kesehatan yang baik dan anggaran yang cukup untuk menjaga calon
anak bangsa ini. Sebagai contoh, untuk tingkat nasional, biaya
imunisasi sebesar Rp. 791 milyar pada tahun 2008, akan meningkat menjadi
sekitar Rp. 1,4 trilyun pada tahun 2015. Program kesehatan bayi ini penting karena data SDKI (2007) menyebutkan ada 26 kematian
bayi di Jawa Tengah per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi ini
juga diduga masih berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi PUS seperti :
kemiskinan, pendidikan yang masih rendah, usia kawin yang masih dini
(36,05 persen perempuan di Jateng menikah pada usia di bawah 19 tahun,
bahkan ada 11,9 persen perempuan usia 10-15 tahun yang sudah menikah).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa program-program pemberdayaan perempuan,
peningkatan status sosial ekonomi, peningkatan pendidikan dan
sebagainya, merupakan hal mendasar yang harus digarap serius. Jika PUS
rendah tingkat pendidikannya, maka diperkirakan akan memiskinkan mereka,
dan akan mempengaruhi usia kawin pertama, dan sebaliknya. Kemiskinan
akan menyebabkan mereka kekurangan gizi dan nutrisi serta menghambat
keikutsertaan KB, karena ada yang berpendapat : banyak anak banyak
rezeki atau banyak anak berarti akan membantu ekonomi keluarga.
3) Penyiapan dan penyediaan anggaran untuk pendidikan, serta penyediaan lapangan kerja, karena
di Provinsi Jawa Tengah jumlah penduduk kelompok usia sekolah 10-14
tahun dan 15-19 tahun adalah yang tertinggi diantara kelompok umur
lainnya.
4) Revitalisasi
program KB yang benar-benar berakar di tingkat paling bawah, maupun di
tingkat kabupaten/kota. Dalam era desentralisasi ini peran pemerintah
kabupaten atau kota sangat penting, namun fakta yang ada menunjukkan
program KB menghadapi masalah yang cukup serius, ditandai
dengan kurangnya perhatian pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan data
menunjukkan hal yang dapat dicatat dari permasalahan di kabupaten/kota
adalah :
- Banyak
petugas lapangan KB (PLKB) yang beralih tugas. Jumlah petugas lapangan
KB hanya 21.000 orang, yang berarti menyusut sekitar 14.000 orang
dibanding pada saat KB sukses di masa Orde Baru.
Data BPS (2010) di Jawa Tengah adalah bahwa rasio petugas PLKB dengan
desa yang ditangani adalah 1 : 3. Artinya setiap PLKB harus menangani 3
desa, dan ini tentu saja akan menghambat dan menambah berat tugasnya, terutama pada saat Pendataan Keluarga yang harus mendata dan merekap ribuan data keluarga.
- Jumlah klinik-klinik KB di Jawa Tengah jumlahnya terus menurun.
- Jumlah peserta KB menurut SDKI 2007 hanya 63,7%.
1.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Dari
hasil sensus penduduk 2010 seperti pada tabel 1.2 diperoleh angka
perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan 98,8 yaitu
(laki-laki 16.091.112 dan perempuan 16.291.545). Sebaran penduduk
menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa umumnya kabupaten dan kota di
Jawa Tengah juga lebih banyak jumlah penduduk perempuan daripada jumlah penduduk laki-laki, kecuali pada 9 Kab/Kota yaitu: Kab. Cilacap, Kab. Banyumas,Kab. Banjarnegara, Kab.Wonosobo, Kab. Magelang, Kab. Kendal, Kab. Batang, Kab. Brebes, serta Kota Pekalongan.
Tabel 1.2 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Kabupaten/Kota
|
Jenis Kelamin
| ||||
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
| |||
01
|
Kab
|
Cilacap
|
824 279
|
817 828
|
1 642 107
|
02
|
Kab
|
Banyumas
|
778 197
|
776 330
|
1 554 527
|
03
|
Kab
|
Purbalingga
|
420 258
|
428 694
|
848 952
|
04
|
Kab
|
Banjarnegara
|
436 152
|
432 761
|
868 913
|
05
|
Kab
|
Kebumen
|
578 724
|
581 202
|
1 159 926
|
06
|
Kab
|
Purworejo
|
343 644
|
351 783
|
695 427
|
07
|
Kab
|
Wonosobo
|
383 401
|
371 482
|
754 883
|
08
|
Kab
|
Magelang
|
594 117
|
587 606
|
1 181 723
|
09
|
Kab
|
Boyolali
|
459 044
|
471 487
|
930 531
|
10
|
Kab
|
Klaten
|
555 700
|
574 347
|
1 130 047
|
11
|
Kab
|
Sukoharjo
|
409 174
|
415 064
|
824 238
|
12
|
Kab
|
Wonogiri
|
452 386
|
476 518
|
928 904
|
13
|
Kab
|
Karanganyar
|
402 964
|
410 232
|
813 196
|
14
|
Kab
|
Sragen
|
421 363
|
436 903
|
858 266
|
15
|
Kab
|
Grobogan
|
648 598
|
660 098
|
1 308 696
|
16
|
Kab
|
Blora
|
409 170
|
420 558
|
829 728
|
17
|
Kab
|
Rembang
|
295 266
|
296 093
|
591 359
|
18
|
Kab
|
Pati
|
578 127
|
612 866
|
1 190 993
|
19
|
Kab
|
Kudus
|
383 508
|
393 929
|
777 437
|
20
|
Kab
|
Jepara
|
548 140
|
549 140
|
1 097 280
|
21
|
Kab
|
Demak
|
523 984
|
531 595
|
1 055 579
|
22
|
Kab
|
Semarang
|
458 203
|
472 524
|
930 727
|
23
|
Kab
|
Temanggung
|
355 819
|
352 727
|
708 546
|
24
|
Kab
|
Kendal
|
457 263
|
443 050
|
900 313
|
25
|
Kab
|
Batang
|
353 603
|
353 161
|
706 764
|
26
|
Kab
|
Pekalongan
|
417 406
|
421 215
|
838 621
|
27
|
Kab
|
Pemalang
|
625 565
|
635 788
|
1 261 353
|
28
|
Kab
|
Tegal
|
694 695
|
700 144
|
1 394 839
|
29
|
Kab
|
Brebes
|
872 934
|
860 935
|
1 733 869
|
71
|
Kota
|
Magelang
|
58 311
|
59 916
|
118 227
|
72
|
Kota
|
Surakarta
|
243 296
|
256 041
|
499 337
|
73
|
Kota
|
Salatiga
|
83 479
|
86 853
|
170 332
|
74
|
Kota
|
Semarang
|
764 487
|
791 497
|
1 555 984
|
75
|
Kota
|
Pekalongan
|
140 983
|
140 451
|
281 434
|
76
|
Kota
|
Tegal
|
118 872
|
120 727
|
239 599
|
JAWA TENGAH
|
16 091 112
|
16 291 545
|
32 382 657
|
Sumber : BPS Sensus Penduduk Tahun 2010
Berdasarkan
data jumlah penduduk menurut jenis kelamin, maka permasalahan yang
dihadapi Provinsi Jawa Tengah diantaranya adalah :
1) Penyiapan
program KB yang lebih intensif dengan target meningkatkan peserta KB
yang baru. Pernyataan ini didukung oleh fakta bahwa jumlah wanita usia
subur (WUS) usia 15-49 tahun cukup tinggi yaitu 53,38% dan kelompok umur
wanita 10-14 tahun adalah yang paling tinggi bila dibanding dengan
kelompok umur lainnya. Kenyataan ini merupakan tantangan yang berat bagi
program KKB di Jawa Tengah; Hal yang harus ditingkatkan adalah
pembentukan Pusat-pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja
(PIK), memasukkan tema-tema KB dan kesejhatan reproduksi remaja ke mata
pelajaran yang sudah ada di sekolah (jadi bukan kurikulum tersendiri
yang memberatkan. Tuntutan ini terkait dengan fakta bahwa masih ada 19,7
persen kehamilan tidak dikendaki (unwanted pregnancy), 12,5 persen
penderita penyakit seks menular terutama HIV/AIDS, dst. PIK yang
didirikan dapat saja bekerjasama dengan berbagai organisasi keagamaan,
pendidikan, kepemudaan, dst.
2) Menekan
angka drop out (DO) peserta KB, karena menurut BKKBN Jawa Tengah
(2011), jumlah angka DO masih 7,56 persen, terendah di Kabupaten
Magelang 3,03 persen dan tertinggi 18,96 persen di Kabupaten Brebes. Angka ini berada di atas kewajaran sebesar
7 persen per tahun. Jika pada tahun 2002-2003 tingkat penggunaan
kontrasepsi mencapai 62,2 %, maka pada tahun 2007 turun menjadi 59,9 %,
dan pada semester pertama tahun 2008 tingkat drop out peserta KB
mencapai angka 285.016 orang dan pada tahun 2011 menjadi 428.641 orang
yang DO. Akibatnya pada tahun 2007 angka TFR (total fertility rate)
Pasangan usia subur 15-49 tahun menjadi 2,3, berarti naik 0,2 poin
dibanding tahun 2002-2003. Angka 0,2 poin ini tinggi terutama jika
dikaitkan dengan jumlah penduduk Jateng yang mencapai angka 32,2 juta
jiwa yang berarti urutan ketiga terbesar di Indonesia. Angka 0,2 artinya
jumlah anak yang dimiliki wanita usia subur meningkat 0,2 poin; Dari
persoalan inilah peningkatan CPR setidaknya harus di atas angka 65
persen, dan menekan unmet need menjadi kurang dari 5 persen. Ini bukan
pekerjaan mudah namun perlu strategi baru yang lebih efektif dan
realistis.
3) Menggerakkan
program KB lebih intensif dengan target yang jelas yakni peningkatan
penggunaan alat kontrasepsi untuk menekan angka kelahiran. Pernyataan
ini terkait dengan data BPS (2010) yang mencatat jumlah pasangan usia
subur 15-49 tahun yang kawin mencapai angka 72,47 %. Selanjutnya
persentase wanita usia subur yang kawin dan sedang menggunakan alat KB sekitar 63, 67 %, tidak sedang menggunakan alat KB 19,07 %, dan yang tidak pernah menggunakan alat KB sekitar
17,26 %. Kenyataan ini merupakan tantangan ke depan, agar program
pengendalian jumlah penduduk dapat ditingkatkan, terutama mengurangi
disparitas TFR,CPR dan unmet need;
4) Mencari strategi baru yang lebih menekankan kepada peningkatan program KB bagi pria. Hal ini didasarkan atas rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB yang baru mencapai 4,5 % saja;
5) Peningkatan program KB yang berorientasi pemberdayaan perempuan. Dari titik inilah pendekatan sosial budaya harus menjadi prioritas selain aspek-aspek teknis dalam pengendalian penduduk. Program KB mencakup isu yang lebih luas. Program KB tidak identik dengan pakai kontrasepsi, penurunan angka kelahiran, namun terkait dengan tujuan untuk : Pemenuhan hak-hak reproduksi, promosi, pencegahan, penanganan kesehatan reproduksi dan seksual, serta kesehatan dan kesejahteraan ibu, bayi, dan anak.
1.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia Sekolah
Tabel 1.3 Jumlah dan Persentase Kelompok Umur Sekolah Menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Kabupaten/Kota
|
Kelompok Umur Sekolah
| | |||||
7-12
|
%
|
13-15
|
%
|
16-18
|
%
| ||
| | | | | | | |
Kab
|
Cilacap
|
194 058
|
11,82
|
98 819
|
6,02
|
79 331
|
4,83
|
Kab
|
Banyumas
|
169 773
|
10,92
|
82 119
|
5,28
|
73 567
|
4,73
|
Kab
|
Purbalingga
|
97 534
|
11,49
|
47 528
|
5,60
|
39 944
|
4,71
|
Kab
|
Banjarnegara
|
98 130
|
11,29
|
47 238
|
5,44
|
41 868
|
4,82
|
Kab
|
Kebumen
|
137 353
|
11,84
|
73 312
|
6,32
|
58 581
|
5,05
|
Kab
|
Purworejo
|
74 448
|
10,71
|
40 790
|
5,87
|
35 319
|
5,08
|
Kab
|
Wonosobo
|
88 748
|
11,76
|
42 779
|
5,67
|
35 804
|
4,74
|
Kab
|
Magelang
|
126 456
|
10,70
|
66 148
|
5,60
|
59 349
|
5,02
|
Kab
|
Boyolali
|
97 608
|
10,49
|
49 839
|
5,36
|
43 298
|
4,65
|
Kab
|
Klaten
|
108 397
|
9,59
|
55 520
|
4,91
|
52 807
|
4,67
|
Kab
|
Sukoharjo
|
81 219
|
9,85
|
42 165
|
5,12
|
41 027
|
4,98
|
Kab
|
Wonogiri
|
88 457
|
9,52
|
45 966
|
4,95
|
38 523
|
4,15
|
Kab
|
Karanganyar
|
83 918
|
10,32
|
40 674
|
5,00
|
36 953
|
4,54
|
Kab
|
Sragen
|
87 012
|
10,14
|
44 697
|
5,21
|
39 379
|
4,59
|
Kab
|
Grobogan
|
145 183
|
11,09
|
73 936
|
5,65
|
65 151
|
4,98
|
Kab
|
Blora
|
85 985
|
10,36
|
42 236
|
5,09
|
37 126
|
4,47
|
Kab
|
Rembang
|
59 650
|
10,09
|
31 645
|
5,35
|
30 978
|
5,24
|
Kab
|
Pati
|
120 777
|
10,14
|
63 551
|
5,34
|
60 178
|
5,05
|
Kab
|
Kudus
|
79 954
|
10,28
|
42 363
|
5,45
|
41 714
|
5,37
|
Kab
|
Jepara
|
121 287
|
11,05
|
59 559
|
5,43
|
57 964
|
5,28
|
Kab
|
Demak
|
122 686
|
11,62
|
64 097
|
6,07
|
61 367
|
5,81
|
Kab
|
Semarang
|
94 002
|
10,10
|
47 571
|
5,11
|
45 997
|
4,94
|
Kab
|
Temanggung
|
73 149
|
10,32
|
37 311
|
5,27
|
32 523
|
4,59
|
Kab
|
Kendal
|
95 935
|
10,66
|
51 616
|
5,73
|
47 837
|
5,31
|
Kab
|
Batang
|
76 567
|
10,83
|
40 575
|
5,74
|
37 876
|
5,36
|
Kab
|
Pekalongan
|
100 569
|
11,99
|
53 713
|
6,40
|
47 552
|
5,67
|
Kab
|
Pemalang
|
155 610
|
12,34
|
78 087
|
6,19
|
66 573
|
5,28
|
Kab
|
Tegal
|
168 787
|
12,10
|
84 862
|
6,08
|
71 516
|
5,13
|
Kab
|
Brebes
|
208 122
|
12,00
|
107 365
|
6,19
|
96 791
|
5,58
|
Kota
|
Magelang
|
11 183
|
9,46
|
5 952
|
5,03
|
6 399
|
5,41
|
Kota
|
Surakarta
|
45 503
|
9,11
|
24 222
|
4,85
|
27 438
|
5,49
|
Kota
|
Salatiga
|
15 529
|
9,12
|
8 269
|
4,85
|
9 205
|
5,40
|
Kota
|
Semarang
|
146 382
|
9,41
|
74 139
|
4,76
|
85 096
|
5,47
|
Kota
|
Pekalongan
|
30 810
|
10,95
|
16 161
|
5,74
|
15 895
|
5,65
|
Kota
|
Tegal
|
25 397
|
10,60
|
13 352
|
5,57
|
13 113
|
5,47
|
JAWA TENGAH
|
3 516 178
|
10,86
|
1 798 176
|
5,55
|
1 634 039
|
5,05
|
Sumber : BPS Sensus Penduduk Tahun 2010
Dari tabel
diatas dapat dilihat bahwa kelompok usia sekolah (7-18 tahun) di Jawa
Tengah cukup tinggi yakni 6.948.388 atau 21,46 persen dari seluruh
penduduk, dan persentase yang paling tinggi adalah kelompok umur 7-12
tahun (10,86 persen). Besarnya kelompok anak usia sekolah ini memerlukan
perhatian yang serius karena pendidikan adalah
bekal utama untuk menghadapi hidup di masa mendatang. Jika diukur
secara relatif, dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, Kabupaten
Pemalang menduduki peringkat pertama untuk jumlah penduduk usia Sekolah
Dasar (7-12 tahun) yakni sebanyak 12,34 persen dan Kota Surakarta yang
terkecil yakni 9,11 persen. Penduduk yang terbanyak untuk tingkat SMP
(13-15 tahun) di Kabupaten Pekalongan yakni 6,40 persen dan yang
terkecil di Kota Semarang yakni 4,76 persen, sedangkan untuk penduduk
tingkat SMA (16-18 tahun) terbanyak di Kabupaten Pekalongan sebesar 5,67
persen dan terkecil di Kabupaten Wonogiri sebesar 4,15 persen.
Terkait dengan jumlah penduduk usia sekolah di Jawa Tengah ini maka permasalahan yang dihadapi adalah :
1) Tingginya
kelompok anak usia sekolah menunjukkan Jawa Tengah menghadapi
permasalahan di bidang pendidikan dasar dan menengah. Setidaknya ada
beberapa kebijakan pokok yang harus ditingkatkan di bidang pendidikan
yakni : peningkatan mutu pendidikan, relevansi dan daya saing
pendidikan, pemerataan dan perluasan akses pendidikan terutama
pendidikan dasar (wajar 9 tahun). Hal ini ditekankan karena data BPS
(2010) mencatat bahwa pada tahun 2009 mutu pendidikan di Jawa Tengah
masih kurang mengingat jumlah tenaga pendidik yang bekualifikasi S1/D4
hanya 46,37 persen saja. Peningkatan daya saing pendidikan sangat
penting karena data BPS (2010) menunjukkan ada 1,25 juta orang di Jateng
menganggur karena tidak mendapatkan pekerjaan. Dari titik inilah
gagasan pendidikan vokasi atau keterampilan pantas dilaksanakan dengan
proporsi lebih besar lagi. Hanya yang perlu dicatat, pendirian
pendidikan vokasi harus hati-hati dengan memperhatikan mutu,
kelengakapan laboratorium atau bengkel, mutu guru, sarana-prasarana dan
relevansi dengan perkembangan ekonomi global.
2) Program
pemberdayaan dan pencerdasan masyarakat. Data BPS (2005) menyebutkan
bahwa tahun 2004 jumlah penduduk Jateng yang buta aksara pada kelompok
usia 10 - 44 tahun mencapai 724.229 orang, sedangkan kelompok usia 45
tahun keatas jumlahnya 2.875.294 orang. Tahun 2005 Sebanyak 625.428 orang di Jateng masih
buta huruf. Ironisnya, kondisi ini dialami oleh penduduk berusia
produktif, yakni umur 10 - 44 tahun. Sedang, pada penduduk usia diatas
45 tahun, dibanding tahun lalu diperkirakan jumlahnya stagnan. Sampai
bulan Januari 2006 sedikitnya 598.014 orang dengan prevalensi usia 15 -
44 tahun, buta aksara. Kemudian untuk usia 10 tahun ke atas 3.303.000
orang yang masih buta aksara atau buta huruf.
3) Meningkatkan
pendapatan orang tua miskin yang kesulitan untuk menyekolahkan anaknya.
Akibatnya angka putus sekolah akan tinggi, selain karena mahalnya biaya
(operasional) pendidikan, juga akibat adanya persepsi dari orang tua
murid yang miskin bahwa anak merupakan pembantu utama untuk mencari
nafkah. Menurut teori household survival strategy
dari Harbirson (1981), masyarakat miskin akan memanfaatkan
sumber-sumber ekonomi yang tersedia jika kondisi ekonomi mengalami
perubahan, dan salah satu usaha itu ialah memanfaatkan tenaga kerja
keluarga termasuk tenaga anak-anaknya. Jadi mereka beranggapan, mengapa
harus menyekolahkan anak sampai tingkat SMP misalnya, kalau ternyata
tidak ada perbedaan yang signifikan , kemudahan mencari kerja dan perbedaan yang cukup berarti upah antara lulusan SD dan lulusan SMP. Karenanya mereka beranggapan akan lebih baik jika anak dimanfaatkan untuk membantu ekonomi keluarga. Dengan kata lain, keengganan orang miskin menyekolahkan anaknya bisa juga disebabkan adanya ”opportunity cost” yang hilang. Artinya orang tua merasa tidak untung jika
anaknya lulus SMP, tetapi dengan upah yang sama dengan lulusan SD.
Peningkatan pendapatan ekonomi ini penting terkait dengan data orang
miskin di Jateng yang masih cukup tinggi yakni 6,19 juta jiwa pada tahun
2008 dan jumlah penganggur terbuka masih 1,25 juta jiwa (BPS,2010).
Data ini belum menyangkut jumlah setengah penganggur yang tentu lebih
besar. Setengah penganggur adalah orang yang kelihatannya bekerja namun
hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4) Penyediaan
dana yang cukup untuk meningkatkan ”daya beli” masyarakat miskin dalam
bidang pendidikan, selain membebaskan SPP, juga ada program beasiswa,
bantuan makanan tambahan,
bantuan transportasi, atau mengubah metode dan waktu jam belajar agar
anak-anak miskin masih tetap bisa membantu orang tuanya bekerja,
kemudian siang harinya mereka dapat masuk sekolah dan sebagainya.
Menurut Carlson, dalam Adoption of Education Innovations
(Suyanto,1995), agar inovasi pendidikan dapat diadopsi oleh masyarakat,
maka mereka perlu diyakinkan bahwa materi inovasi itu memang memiliki
keuntungan relatif jika dibandingkan dengan sistem atau praktek yang selama ini telah ada.
5) Menggerakkan
para tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mengkampanyekan program
pendidikan wajib belajar 9 tahun. Dengan adanya himbauan tokoh agama atau tokoh
masyarakat, maka ada semacam ”sanksi” religius atau sanksi sosial bagi
mereka yang melanggar. Tentu hal ini dapat dilakukan jika kewajiban pemerintah (daerah) untuk menyantuni fakir miskin ini telah dipenuhi;
1.4 Angka Dependency Ratio dan Window Opportunity
Istilah Dependency Ratio menyatakan perbandingan antara kelompok usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) terhadap kelompok penduduk usia produktif (15-64 tahun). Rasio ini menyatakan seberapa berat beban tanggungan yang harus dipikul oleh jumlah penduduk usia
produktif. Jika angka itu satu berbading dua, artinya satu untuk usia
tidak produktif dan dua untuk usia produktif, maka disebut mengalami bonus demografi atau ada window of opportunity atau jendela kesempatan.
Tabel 1.4 Dependency Ratio dan Sex Ratio Menurut Kabupaten/Kota, Jawa Tengah 2010
Kabupaten/Kota
|
TOTAL DR
|
ODR
|
YDR
|
SR
|
01. Kab. Cilacap
|
54.8
|
11.0
|
43.8
|
100.8
|
02. Kab. Banyumas
|
52.4
|
11.8
|
40.6
|
100.2
|
03. Kab. Purbalingga
|
55.1
|
11.7
|
43.4
|
98.0
|
04. Kab. Banjarnegara
|
52.3
|
10.9
|
41.4
|
100.8
|
05. Kab. Kebumen
|
59.0
|
14.2
|
44.8
|
99.6
|
06. Kab. Purworejo
|
56.4
|
16.6
|
39.8
|
97.7
|
07. Kab. Wonosobo
|
54.2
|
11.0
|
43.3
|
103.2
|
08. Kab. Magelang
|
51.1
|
11.8
|
39.3
|
101.1
|
09. Kab. Boyolali
|
53.3
|
14.0
|
39.3
|
97.4
|
10. Kab. Klaten
|
50.4
|
14.6
|
35.9
|
96.8
|
11. Kab. Sukoharjo
|
46.3
|
10.8
|
35.5
|
98.6
|
12. Kab. Wonogiri
|
53.3
|
18.8
|
34.4
|
94.9
|
13. Kab. Karanganyar
|
49.1
|
11.5
|
37.6
|
98.2
|
14. Kab. Sragen
|
51.0
|
13.6
|
37.4
|
96.4
|
15. Kab. Grobogan
|
50.9
|
10.9
|
40.0
|
98.3
|
16. Kab. Blora
|
48.9
|
12.3
|
36.6
|
97.3
|
17. Kab. Rembang
|
44.7
|
9.5
|
35.2
|
99.7
|
18. Kab. Pati
|
47.8
|
11.6
|
36.2
|
94.3
|
19. Kab. Kudus
|
43.4
|
7.3
|
36.2
|
97.4
|
20. Kab. Jepara
|
49.6
|
8.7
|
40.9
|
99.8
|
21. Kab. Demak
|
49.0
|
7.5
|
41.5
|
98.6
|
22. Kab. Semarang
|
47.5
|
10.7
|
36.8
|
97.0
|
23. Kab. Temanggung
|
48.9
|
11.1
|
37.9
|
100.9
|
24. Kab. Kendal
|
48.0
|
9.4
|
38.6
|
103.2
|
25. Kab. Batang
|
47.9
|
8.7
|
39.1
|
100.1
|
26. Kab. Pekalongan
|
52.7
|
8.5
|
44.3
|
99.1
|
27. Kab. Pemalang
|
54.7
|
9.6
|
45.1
|
98.4
|
28. Kab. Tegal
|
54.0
|
9.0
|
45.0
|
99.2
|
29. Kab. Brebes
|
52.4
|
9.1
|
43.2
|
101.4
|
71. Kota Magelang
|
43.5
|
10.5
|
33.1
|
97.3
|
72. Kota Surakarta
|
39.8
|
8.4
|
31.3
|
95.0
|
73. Kota Salatiga
|
42.4
|
9.0
|
33.3
|
96.1
|
74. Kota Semarang
|
39.3
|
6.4
|
32.9
|
96.6
|
75. Kota Pekalongan
|
45.3
|
6.3
|
39.0
|
100.4
|
76. Kota Tegal
|
45.7
|
7.3
|
38.4
|
98.5
|
JAWA TENGAH
|
50.3
|
10.8
|
39.5
|
98.8
|
Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah Dependency Ratio yang tertinggi bebannya adalah Kabupaten Kebumen yakni 59,0 yaitu setiap 100 orang penduduk produktif menanggung 59,0 penduduk tidak produktif dan yang terendah bebannya
di Kota Semarang sebesar 39,3 yaitu setiap 100 penduduk produktif
menanggung beban 39,3 penduduk tidak produktif. Semakin kecil Ratio
Ketergantungan maka kondisi Kab/Kota tersebut semakin maju. Di negara Maju seperti Amerika Serikat angka Dependensi Rationya: 25.
Hal
yang cukup menggembirakan dari 32,3 juta penduduk Jawa Tengah jika
dirinci menurut kelompok umur, maka akan diperoleh angka : Pada kelompok
umur 0-14 tahun ada 26,73 %, kelompok umur 15-64 tahun berjumlah 65,72
%, dan kelompok umur 65 tahun ke atas berjumlah 7,55 %. Angka tersebut
menunjukkan bahwa Jawa Tengah hampir menikmati Bonus Demografi,
yakni jumlah penduduk usia produktif 15-64 tahun hampir dua kali lipat
dari kelompok umur tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).
Berdasarkan komposisi tersebut, maka yang menjadi masalah di Jawa Tengah adalah :
1) Apakah
kelompok usia produktif itu termasuk penduduk yang bermutu, karena data
BPS (2010) menunjukkan ada 5.204.437 jiwa penduduk Jawa Tengah yang
bekerja kurang dari 35 jam per
minggu, alias menjadi setengah penganggur. Jika angka usia produktif
tidak atau kurang bermutu, maka bonus demografi tersebut hampir tidak
ada artinya. Untuk itu sumber daya manusia pada penduduk usia produktif
perlu ditingkatkan dengan pelatihan ketrampilan dalam balai latihan
kerja.
2) Peningkatan
produktivitas kerja, terutama di sektor pertanian agar penduduk desa
tidak bermigrasi ke kota, ke luar daerah atau ke luar negeri. Pernyataan
ini didasarkan atas fakta bahwa di Jawa Tengah, kontribusi sektor
pertanian terhadap PDRB juga mengalami penurunan, dari 20,01 % pada
tahun 2007, menjadi 19,34 % pada tahun 2009 (BPS,2009).
3) Penyediaan
lapangan kerja karena jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah pada tahun
2007 mencapai angka 17,66 juta jiwa dengan tingkat pengangguran terbuka
sebanyak 7,7 % atau 1,36 juta jiwa (BPS,2008).
4) Peningkatan program kesejahteraan untuk mengurangi kemiskinan. Dengan pemberdayaan di sektor pertanian, usaha mikro dan kecil menengah, maupun koperasi rakyat lainnya , diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat kecil. Hal ini berdasar fakta bahwa angka kemiskinan di Jawa
Tengah cukup tinggi, yakni 3,17 juta rumah tangga miskin atau setara
12,68 juta jiwa, serta 1,39 juta jiwa tergolong sangat miskin dan 1,54
juta jiwa tergolong miskin (BPS,2008)
5) Peningkatan
produktivitas di sektor industri dengan berbagai program. Kenyataan ini
terkait dengan rendahnya upah yang diterima pekerja. Data yang dicatat
BPS (2009) menunjukkan bahwa
rata-rata upah di Provinsi Jawa Tengah lebih rendah jika dibandingkan
dengan angka nasional. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) rata-rata
sebesar Rp.715.700 orang per bulan pada tahun 2008.
6) Peningkatan
program pelatihan dan keterampilan untuk menekan arus tenaga kerja ke
luar negeri yang banyak membawa masalah. Seperti diketahui, kesukaran memperoleh pekerjaan di Indonesia menyebabkan pula terjadinya gelombang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah dan Malaysia. Berdasarkan hal ini, nampak bahwa situasi pasar kerja di Jawa Tengah tercatat dua hal sebagai berikut : Pertama, dari sisi penawaran, jumlah angkatan kerja masih terus meningkat. Kedua, pengangguran terdidik (SLTA ke atas) masih tinggi dan diperkirakan terus meningkat secara drastis pada tahun-tahun yang akan datang. Perkembangan ini mengindikasikan adanya hubungan negatif antara tingkat pendidikan dan kesempatan kerja.
7) Meningkatkan
keunggulan potensi ekonomi dan sumberdaya manusia di perdesaan. Sebagai
contoh di Desa Tahunan Kabupaten Jepara, ada usaha ukir kelas dunia
yang dapat menggerakkan ekonomi desa dan dapat menekan urbanisasi. Tuntutan ini penting dilakukan karena sudah lama
McGee (1971) mengatakan bahwa kota-kota besar di negara-negara
berkembang menghadapi persoalan sulitnya menciptakan lapangan kerja di
satu sisi dan membesarnya kota pada sisi yang lain. Kesempatan kerja
yang banyak tersedia di kota hanya ada di sektor informal (Manning,1985). Akibatnya di
kota-kota besar terjadi urbanisasi berlebih, yakni ketidakmampuan
pemerintah kota dalam mencukupi pelayanan bagi warganya (Todaro dan
Stilkind,1981).
II. REKOMENDASI
2.1 Revitalisasi Pelayanan KB
Terbitnya UU No.52/2009 menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mengurusi masalah kependudukan. Lewat UU itu pula BKKBN yang semula Badan Koordinasi KB, kini menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Karenanya, untuk menurunkan angka TFR, harus ada upaya komprehensif dan
terpadu, mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Revitalisasi
pelayanan KB harus dilakukan.
Mestinya
lembaga-lembaga desa PKK, PPKBD ( SKD) yang turut aktif memainkan peran
untuk masalah kependudukan, keluarga, dan kesehatan di jaman Orde Baru,
harus direvitalisasi, dan bukannya dihapus. Program KB di masa Orde
Baru yang dipandang masih ”represif”, kini harus diperbarui, bukan hanya
masalah kualitas penduduknya saja, namun juga terkait dengan kesehatan reproduksi. Program KB mestinya juga memperhatikan hal ini dengan prinsip melayani klien (peserta KB) dengan “quality of care” dan bukan hanya “quality of service”.
Yang disebut pertama adalah prinsip memperhatikan klien tidak hanya
secara teknis, namun juga hubungan antar pribadi yang intens yang hasil
akhirnya ada peningkatan pengetahuan klien terhadap perilaku reproduksi
yang sehat.
Para petugas lapangan KB (PLKB) harus diberdayakan lagi dengan imbalan yang pantas ,agar mereka yang sudah terlatih, tidak tergoda
untuk pindah ke dinas lain. Tidak mudah dan tidak sedikit biaya yang
dikeluarkan untuk menjadikan PLKB yang terlatih dan siap kerja, terutama
yang memiliki keahlian melayani dengan prinsip “quality of care”.
Rendahnya anggaran untuk program KB yang saat ini hanya 2,9 triliun
rupiah, serta berkurangnya jumlah para PLKB, menyebabkan 9,1 persen
calon akseptor KB belum terlayani. Jumlah ini naik dari angka 8,9 persen
pada tahun sebelumnya (data dari Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007).
Quality of Care
mensyaratkan kepada para klien KB untuk memiliki pengetahuan yang
memadai, kerahasiaan yang terjamin, keamanan penggunaan kontrasepsi,
petugas KB harus memahami perasaan klien. Dengan kata lain, informasi
yang lengkap tentang klien merupakan
unsur penting dalam menentukan standar pelayanan. Ukuran keberhasilan
KB adalah kepuasan klien dan meningkatnya pengetahuan klien tentang
reproduksi yang sehat, serta rendahnya tingkat kegagalan KB.
Karenanya, penyedia layanan harus memberikan penjelasan tentang alat kontrasepsi yang cocok dan tepat tanpa memprioritaskan atau membatasi pada satu metode kontrasepsi. Klien harus memiliki informasi yang lengkap mengenai metode-metode kontrasepsi tentang kelebihan dan kekurangannya, termasuk kontraindikasi, efek samping dan pelayanan klinis lanjutan. Karenanya, penyedia layanan secara teknis mampu melakukan screening klien untuk mengidentifikasi kontraindikasi dan mampu memberikan pelayanan klinis secara efektif dan berkesinambungan.
Agar
tidak terjadi efek samping yang tidak diinginkan, penyedia layanan
harus mencari informasi mengenai latar belakang klien, tujuan
reproduksinya, pengalaman-pengalaman yang pernah dimilikinya terkait
kontrasepsi dan preferensinya dan kemudian membantu klien memilih alat
kontrasepsi yang sesuai. Klien menerima informasi mengenai kemungkinan
pergantian metode kontrasepsi atau sumber-sumber suplai pelayanan dan
membuat jadwal pelayanan
lanjutan. Kesemuanya dilakukan oleh penyedia layanan untuk melayani
klien secara wajar, manusiawi, melindungi rahasia pribadinya, berbagi
rasa dan informasi, serta melakukan konseling secara interpersonal.
Sketsa
masalah di atas jelas mengisyaratkan perlunya menghidupkan program KB
yang lebih baik dibandingkan pada masa Orde Baru, serta berbagai
kebijakan kependudukan lainnya.
2.2 Kebijakan Kependudukan
Bertambahnya
tugas BKKBN menjadi Badan Kependudukan dan KB Nasional, maka lembaga
ini juga harus mendesain program kependudukan yang komprehensif bersama
lembaga lain seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan sebagainya. Banyak definisi
tentang arti kebijakan kependudukan (population policy),
diantaranya sebagaimana dikatakan oleh Eldrige (dalam Weller and
Bouvier,1981), yakni sebuah tindakan atau langkah nyata dari pemerintah,
baik melalui langkah administratif atau legislatif, untuk mengatur atau mengendalikan kecenderungan pertumbuhan penduduk guna mencapai kesejahteraan masyarakat sebagai bagian dari upaya mempertahankan hidup secara nasional.
Kebijakan kependudukan harus merupakan desain atau program nyata
dari pemerintah untuk mengatur hal ihwal yang berkaitan dengan
penduduk, dan yang harus dikendalikan dan diatur, yakni komposisi
penduduk, jumlah penduduk, ukuran dan persebaran penduduk. Pemerintah
harus menjadi aktor kunci /utama untuk mengatur dan menerapkan
kebijaksanaan kependudukan, sehingga pemerintah harus merumuskan target
yang jelas dan terukur, serta memiliki strategi dan program yang telah
disusun secara baik agar intervensinya dapat diterapkan secara nyata
untuk menghasilkan perubahan sosial ekonomi masyarakat.
Perilaku demografis bukan terdiri atas kumpulan tindakan individu, demikian pula kesejahteraan masyarakat tidak
selalu hasil penjumlahan dari kesejahteraan individu. Namun yang jelas
keberhasilan mengendalikan dan mengatur penduduk akan berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan
sosial masyarakat. Berkaitan dengan arus migrasi yang memadati kota-kota
besar, maka perlu upaya menciptakan lapangan pekerjaan di perdesaan,
tujuannya diharapkan dapat mengerem laju urbanisasi. Untuk itu berbagai studi tentang karakeristik penduduk perdesaan dan potensi sumber daya alam menjadi penting artinya.
0 comments:
Post a Comment