Thursday, June 28, 2012

RUU KEPERAWAT HARUS DI SAHKAN



Bagikan berita ini :   
Jum'at, 11 Maret 2011 , 09:29:00


Achmad Syaifudin Skep Ns *)
PADA 2010 lalu demonstrasi perawat menuntut segera dibahas dan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) keperawatan menjadi sebuah undang-undang, marak terjadi di berbagai daerah termasuk di Kaltim. Bahkan pada sidang paripurna DPR RI 12 Oktober 2010 lalu, para perawat dikejutkan dengan didepaknya RUU Keperawatan dari pembahasan sidang, digantikan dengan RUU Tenaga Kesehatan (UU Nakes).
RUU Tenaga Kesehatan bak siluman menggantikan RUU Keperawatan dari usulan badan legislasi (baleg) yang selama ini sudah menjadi inisiasi DPR RI. Padahal pada awalnya RUU Keperawatan sudah menjadi prioritas nomor urut 160 dalam prioritas pembahasan Program Legislasi Nasional (Proglesnas) 2004, nomor urut 26 pada Proglesnas 2009 dan menjadi inisiatif DPR nomor urut 18 tahun 2010. Namun syukurlah, dengan perjuangan gigih dari perawat, akhirnya RUU Keperawatan kembali masuk Proglesnas 2011 nomor urut 18.
Mengapa profesi perawat begitu gigih dan ngotot memiliki undang-undang?  Menurut Prof Yani (pakar keperawatan), paling tidak ada 4 alasan perawat memerlukan sebuah undang-undang, yaitu alasan filosofis, yuridis, sosiologis, dan teknis keperawatan. Secara filosofis kita tentu mengetahui bahwa perawat bagian terbesar dari tenaga kesehatan di Indonesia dan tentunya memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan derajat kesehatan bangsa. Namun kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum.
Secara Yuridis, sesuai dengan bunyi UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 Pasal 23 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 1 yang intinya tenaga kesehatan berwenang menyelenggarakan pelayan kesehatan dan mendapatkan jaminan perlindungan hukum, serta ditandatanganinya perjanjian MRA (Mutual Recognition Arrangement) diberlakukan pada 1 Januari 2010, yang salah satu isinya  suatu negara bisa mengirimkan tenaga keperawatan apabila negara itu telah mempunyai UU tentang Keperawatan.
Alasan sosiologis adalah terjadinya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada upaya kuratif (diagnosis penyakit dan pengobatan) kepada paradigma preventif, sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan. Selain itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.
Alasan Teknis Keperawatan adalah perlu adanya kejelasan kewenangan perawat berdasarkan kualifikasi pendidikan atau antara perawat vokasional dan profesional, peran dan fungsi dalam praktik keperawatan, standar kompetensi praktik keperawatan, pengaturan lembaga independen atau konsil serta pengaturan proses registrasi dan legislasi. Badan Regulator Independen (konsil Keperawatan) hanya dapat dibentuk jika profesi perawat telah memiliki Undang-Undang sendiri.
Disisi lain mengapa pemerintah juga begitu ngotot untuk memiliki Undang-Undang Nakes, berikut ini beberapa analisa yang dapat penulis kemukakan yang dihimpun dari berbagai sumber. Di antaranya amanat dari UU Kesehatan RI No.36 tahun 2009 terutama pada pasal 21 ayat 3, yang berbunyi “ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan undang-undang” dalam penjelasannya disebutkan pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis.
Pemerintah berusaha membuat undang-undang yang lebih simpel yang dapat menaungi seluruh tenaga kesehatan termasuk di dalamnya profesi perawat sehingga perawat tidak perlu memiliki undang-undang tersendiri. Menurut rencana, dengan adanya Undang-Undang Nakes, maka UU kedokteran Nomor 29 tahun 2004 akan dicabut supaya tidak menimbulkan kecemburuan dengan profesi kesehatan yang lain.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah profesi perawat bersikap atas RUU Nakes ini dan apakah RUU Nakes ini dapat menggantikan RUU Keperawatan yang gigih diperjuangkan perawat. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan di atas, namun setidaknya dapat dilihat suatu gambaran sikap profesi perawat terkait RUU Nakes ini, yaitu sesuai pers rilis Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada 2 November 2010 point nomer 6:  Sikap perawat Indonesia terhadap RUU Nakes adalah sangat mendukung selama  mengatur hal-hal umum terkait tenaga kesehatan di Indonesia namun untuk hal terkait pengaturan profesi perawat harus diatur dengan sebuah regulasi yang kuat yaitu UU Keperawatan yang secara akademik dan politik mendapat dukungan dari berbagai pihak sehingga diprioritaskan di tahun 2010.
Dari pernyataan sikap PPNI terhadap RUU Nakes terlihat jelas profesi perawat tetap pada komitmen semula menginginkan lahirnya UU Keperawatan, atau mengambil istilah dari teman-teman perawat, UU Keperawatan adalah harga mati bagi perawat. Menurut penulis, pemerintah dan wakil rakyat harus lebih bijaksana dan berhati-hati membuat kebijakan perundang-undangan, terutama tentang tenaga kesehatan. Jangan sampai kesan pemerintah menganak-emaskan satu profesi kesehatan dan menganak-tirikan profesi-profesi kesehatan yang lain menjadi semakin nyata.
Kalau memang benar isu RUU Nakes juga akan menggantikan UU Kedokteran yang sudah ada, maka hal tersebut merupakan suatu langkah mundur dan bertentangan dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, karena jelas-jelas disebutkan dalam penjelasan pasal 21 ayat 3 UU kesehatan Nomor 36 tahun 2009, bahwa tenaga medis tidak perlu diatur lagi dalam suatu undang-undang yang baru, karena pada saat UU Kesehatan ini dibuat tenaga medis (profesi kedokteran) sudah memiliki undang-undang sendiri.
Namun bila keluarnya UU Nakes tidak menggantikan UU Kedokteran, maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah dan DPR selain harus segera membahas dan mengesahkan RUU Keperawatan menjadi sebuah undang-undang supaya tidak lagi terjadi diskriminasi hukum terhadap perawat, dimana disatu pihak ada perawat yang mendapatkan penghargaan (suster apung), tapi di lain pihak ada perawat yang harus masuk penjara (kasus Misran di Kutai Kartanegara), padahal pada dasarnya melaksanakan tindakan pelayanan kesehatan yang sama. (***)

Penulis adalah mahasiswa Program Pasca Sarjana Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Universitas Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates