Di antara perasaan khawatir, deg-degan,
dan siraman darah segar saat menyiapkan peluncuran produk baru,
biasanya ada “simpul mati” yang bisa membuat kaki kita kesemutan untuk
melangkah. Simpul itu mengikat erat produk lama dengan produk baru.
Jelasnya, bentuk simpul tersebut adalah keinginan untuk melakukan
edukasi pasar (biar produk baru laku begitu diluncurkan), tapi juga
tidak mau konsumen tahu (biar produk lama tetap ada yang beli).
Selama ini kita sering kali memotong simpul mati tersebut dengan memberikan diskon besar untuk produk-produk lama, ataupun menggelar paket promo. Tetapi, ya tetap saja, edukasi pasar tidak bisa kita lakukan jauh-jauh hari. Apalagi dalam waktu setahun sebelumnya.
Simpul mati kedua, sering kali kita juga khawatir kalau melakukan edukasi pasar terhadap produk baru, nanti malah kompetitor yang memanfaatkan hasil edukasi tersebut. Akibatnya, kita lebih memilih diam.
Melakukan edukasi pasar memang tidak semudah memasang iklan-iklan komersial, tapi juga tidak bisa jorjoran menggunakan aktivitas publikasi di media massa, mengingat begitu banyak jebakan yang justru membuat blunder peluncuran produk.
Sebaliknya, juga tidak mungkin untuk menarik edukasi hanya sesaat setelah launching dengan iklan yang bombastis. Di samping mahal, efek pembelian yang muncul hanya sebatas impulse buying. Perilaku membeli yang dibentuk oleh iklan tidak berusia lama, dia harus digenjot dengan iklan baru lagi agar terus membeli. Padahal, kita tahu sendiri bagaimana efektivitas iklan semakin berbanding terbalik dengan biaya yang harus kita keluarkan.
Simpul Mati Edukasi
Sejauh ini memang belum banyak merek yang berusaha untuk menguraikan simpul mati secara sistematis, mungkin karena lebih terbayang akan risiko ketimbang keuntungannya. Padahal, jika simpul mati ini bisa terurai dengan baik, maka merek kita bisa menjual produk baru sebelum launching ad ditayangkan. Ada juga keuntungan lain yang lebih menggiurkan, yaitu daya beli yang terbentuk betul-betul disebabkan oleh customer need yang terbangun secara kuat, bukan lantaran “bujuk rayu” iklan. So, kita tidak perlu banyak beriklan untuk membuat proses pembelian kedua dan seterusnya. Iklan hanya digunakan untuk reminder atas keunggulan produk-produk kita.
Sekarang, bagaimanakah melakukan program edukasi tanpa menganggu kinerja penjualan produk lama, dan tidak diketahui oleh kompetitor? Memang, ada syarat yang harus dipenuhi untuk menguraikan simpul mati edukasi ini: produk baru yang akan diluncurkan harus memiliki fitur yang belum pernah ada, atau produk tersebut memiliki value yang bisa dijadikan “new lifestyle” untuk konsumen.
Sekalipun tidak mutlak, tapi salah satu dari dua syarat di atas akan memudahkan kita untuk melakukan edukasi. Fitur baru akan mempermudah membuat (wacana) kebiasaan baru, apalagi jika ditambah embel-embel “teknologi masa depan”, atau “testimoni selebritis/public figure”. Sekali lagi, wacana kebiasaan ya, bukan kebiasaan baru. Karena memang edukasi biasanya cuma memberikan iming-iming. Sebatas mimpilah.
Sementara itu, new lifestyle akan lebih mudah diadopsi oleh konsumen, terutama kalau itu berasal dari referensi kelompok (group reference) mereka. Bila edukasi dilakukan di Jakarta, dan produk teknologi, maka referensi kelompok bisa diambil dari Amerika ataupun Eropa. Nah, kalau target edukasi di daerah, bisa kita gunakan referensi kelompok dari Jakarta.
Jadi, kalau kita bisa mengadopsi fitur baru sebuah produk disinergikan dengan gaya hidup sebuah group reference, maka akan dahsyat dampak pembelajarannya bagi konsumen. Hanya saja, kita mesti bisa menahan diri untuk tidak menyebut merek kita. Sebab, menahan diri inilah sebetulnya kunci edukasi pasar yang mampu menguraikan simpul mati.
Sekali lagi, menahan diri untuk menyebut bahwa fitur tersebut akan hadir di Jakarta, menahan diri untuk menyebut bahwa merek kitalah yang akan meluncurkan, dan bersikap rendah hati untuk menjadikan orang ketiga sebagai endorser.
1001 Key Words
Sekilas memang mudah untuk menahan diri untuk tidak menyebut merek kita. Tapi, silakan dicoba, itu sama beratnya dengan menahan hawa nafsu untuk tidak tampil. Jangankan silent operations seperti ini, iklan built-in saja rasanya sulit sekali untuk diminta tampil alami. Sekalipun sudah diyakinkan (bahkan dengan hasil riset) bahwa produk yang tampil alami dalam iklan built-in bakal lebih diterima ketimbang produk yang disuguhkan secara terang-terangan, tetap saja rasanya ada semacam kesia-siaan karena sudah membayar mahal.
Maka, sikap untuk tidak mau tampil menjadi fondasi dasar yang mesti dikuatkan terlebih dulu jika akan melakukan silent operations. Setelah mantap dengan sikap tersebut, barulah kita melakukan clustering target audiens. Sekalipun sedikit ribet, clustering tidak hanya efektif, tapi juga bisa menjadi “reserve” jika terjadi sesuatu. Clustering ini bisa diibaratkan dengan investasi informasi yang diletakkan dalam keranjang yang berbeda. Jadi, ketika gagal di satu cluster, kita masih bisa membangun dari cluster yang lain.
Selain itu, clustering juga akan menghindarkan kita dari penciuman kompetitor yang berpotensi mengeluarkan produk dengan fitur serupa. Hasil dari clustering adalah informasi yang berbeda sesuai dengan bahasa khas target audiens di cluster tersebut. Jika kita akan mengeluarkan fitur baru tentang telepon chip, misalnya, maka bentuk yang muncul di media belum tentu telepon chip. Bisa jadi hanya sekadar chip, atau telepon masa depan, atau sekadar lomba teknologi masa depan.
Maka, yang diperlukan di sini adalah tim yang bisa konsisten menjaga key message house agar tidak menyimpang dari relnya. Konsistensi ini perlu dijaga, karena key message untuk edukasi memang berbeda dengan key message biasa.
Bila dalam key message house biasa semua kata kunci dibuat seragam hingga menghasilkan efek yang sama, maka key message untuk silent operations memiliki banyak key words yang berbeda pada setiap cluster target audiens. Tetapi, harus memiliki efek yang sama pula, bahkan lebih dahsyat.
Begitu juga halnya dengan third party endorser. Sekalipun proses pemilihan orang ketiga sebagai endorser itu sama, tapi yang bersangkutan tidak boleh tahu sedang meng-endorse sebuah fitur. Dan tentu saja, endorsement yang dilakukan harus bersifat sukarela. Susah? Enggak juga. Kalau murah, iya. Untuk membuat sukarelawan pun mudah, cukup masuk ke hobi dan kesukaannya, atau ke komunitasnya.
Terakhir, karena pekerjaan silent operations membutuhkan tim solid yang tidak boleh membocorkan rahasia key message, maka harus dipastikan betul bahwa tim ini hanya memberikan laporan maksimal pada direksi dan komite product launch. Komite product launch pun tidak semuanya boleh mendengarkan progress report.
Dan, tentu saja, tim silent operations itu sendiri yang harus diwanti-wanti. Jangan sampai berperilaku seperti intel melayu zaman dahulu, yang karena merasa penting dan punya banyak rahasia, justru berkoar bahwa dia adalah tim elit tersebut. Itu bukan silent operations lagi namanya, tapi “silent of the lamb”; diam, tapi tetap saja kecium baunya.
Selama ini kita sering kali memotong simpul mati tersebut dengan memberikan diskon besar untuk produk-produk lama, ataupun menggelar paket promo. Tetapi, ya tetap saja, edukasi pasar tidak bisa kita lakukan jauh-jauh hari. Apalagi dalam waktu setahun sebelumnya.
Simpul mati kedua, sering kali kita juga khawatir kalau melakukan edukasi pasar terhadap produk baru, nanti malah kompetitor yang memanfaatkan hasil edukasi tersebut. Akibatnya, kita lebih memilih diam.
Melakukan edukasi pasar memang tidak semudah memasang iklan-iklan komersial, tapi juga tidak bisa jorjoran menggunakan aktivitas publikasi di media massa, mengingat begitu banyak jebakan yang justru membuat blunder peluncuran produk.
Sebaliknya, juga tidak mungkin untuk menarik edukasi hanya sesaat setelah launching dengan iklan yang bombastis. Di samping mahal, efek pembelian yang muncul hanya sebatas impulse buying. Perilaku membeli yang dibentuk oleh iklan tidak berusia lama, dia harus digenjot dengan iklan baru lagi agar terus membeli. Padahal, kita tahu sendiri bagaimana efektivitas iklan semakin berbanding terbalik dengan biaya yang harus kita keluarkan.
Simpul Mati Edukasi
Sejauh ini memang belum banyak merek yang berusaha untuk menguraikan simpul mati secara sistematis, mungkin karena lebih terbayang akan risiko ketimbang keuntungannya. Padahal, jika simpul mati ini bisa terurai dengan baik, maka merek kita bisa menjual produk baru sebelum launching ad ditayangkan. Ada juga keuntungan lain yang lebih menggiurkan, yaitu daya beli yang terbentuk betul-betul disebabkan oleh customer need yang terbangun secara kuat, bukan lantaran “bujuk rayu” iklan. So, kita tidak perlu banyak beriklan untuk membuat proses pembelian kedua dan seterusnya. Iklan hanya digunakan untuk reminder atas keunggulan produk-produk kita.
Sekarang, bagaimanakah melakukan program edukasi tanpa menganggu kinerja penjualan produk lama, dan tidak diketahui oleh kompetitor? Memang, ada syarat yang harus dipenuhi untuk menguraikan simpul mati edukasi ini: produk baru yang akan diluncurkan harus memiliki fitur yang belum pernah ada, atau produk tersebut memiliki value yang bisa dijadikan “new lifestyle” untuk konsumen.
Sekalipun tidak mutlak, tapi salah satu dari dua syarat di atas akan memudahkan kita untuk melakukan edukasi. Fitur baru akan mempermudah membuat (wacana) kebiasaan baru, apalagi jika ditambah embel-embel “teknologi masa depan”, atau “testimoni selebritis/public figure”. Sekali lagi, wacana kebiasaan ya, bukan kebiasaan baru. Karena memang edukasi biasanya cuma memberikan iming-iming. Sebatas mimpilah.
Sementara itu, new lifestyle akan lebih mudah diadopsi oleh konsumen, terutama kalau itu berasal dari referensi kelompok (group reference) mereka. Bila edukasi dilakukan di Jakarta, dan produk teknologi, maka referensi kelompok bisa diambil dari Amerika ataupun Eropa. Nah, kalau target edukasi di daerah, bisa kita gunakan referensi kelompok dari Jakarta.
Jadi, kalau kita bisa mengadopsi fitur baru sebuah produk disinergikan dengan gaya hidup sebuah group reference, maka akan dahsyat dampak pembelajarannya bagi konsumen. Hanya saja, kita mesti bisa menahan diri untuk tidak menyebut merek kita. Sebab, menahan diri inilah sebetulnya kunci edukasi pasar yang mampu menguraikan simpul mati.
Sekali lagi, menahan diri untuk menyebut bahwa fitur tersebut akan hadir di Jakarta, menahan diri untuk menyebut bahwa merek kitalah yang akan meluncurkan, dan bersikap rendah hati untuk menjadikan orang ketiga sebagai endorser.
1001 Key Words
Sekilas memang mudah untuk menahan diri untuk tidak menyebut merek kita. Tapi, silakan dicoba, itu sama beratnya dengan menahan hawa nafsu untuk tidak tampil. Jangankan silent operations seperti ini, iklan built-in saja rasanya sulit sekali untuk diminta tampil alami. Sekalipun sudah diyakinkan (bahkan dengan hasil riset) bahwa produk yang tampil alami dalam iklan built-in bakal lebih diterima ketimbang produk yang disuguhkan secara terang-terangan, tetap saja rasanya ada semacam kesia-siaan karena sudah membayar mahal.
Maka, sikap untuk tidak mau tampil menjadi fondasi dasar yang mesti dikuatkan terlebih dulu jika akan melakukan silent operations. Setelah mantap dengan sikap tersebut, barulah kita melakukan clustering target audiens. Sekalipun sedikit ribet, clustering tidak hanya efektif, tapi juga bisa menjadi “reserve” jika terjadi sesuatu. Clustering ini bisa diibaratkan dengan investasi informasi yang diletakkan dalam keranjang yang berbeda. Jadi, ketika gagal di satu cluster, kita masih bisa membangun dari cluster yang lain.
Selain itu, clustering juga akan menghindarkan kita dari penciuman kompetitor yang berpotensi mengeluarkan produk dengan fitur serupa. Hasil dari clustering adalah informasi yang berbeda sesuai dengan bahasa khas target audiens di cluster tersebut. Jika kita akan mengeluarkan fitur baru tentang telepon chip, misalnya, maka bentuk yang muncul di media belum tentu telepon chip. Bisa jadi hanya sekadar chip, atau telepon masa depan, atau sekadar lomba teknologi masa depan.
Maka, yang diperlukan di sini adalah tim yang bisa konsisten menjaga key message house agar tidak menyimpang dari relnya. Konsistensi ini perlu dijaga, karena key message untuk edukasi memang berbeda dengan key message biasa.
Bila dalam key message house biasa semua kata kunci dibuat seragam hingga menghasilkan efek yang sama, maka key message untuk silent operations memiliki banyak key words yang berbeda pada setiap cluster target audiens. Tetapi, harus memiliki efek yang sama pula, bahkan lebih dahsyat.
Begitu juga halnya dengan third party endorser. Sekalipun proses pemilihan orang ketiga sebagai endorser itu sama, tapi yang bersangkutan tidak boleh tahu sedang meng-endorse sebuah fitur. Dan tentu saja, endorsement yang dilakukan harus bersifat sukarela. Susah? Enggak juga. Kalau murah, iya. Untuk membuat sukarelawan pun mudah, cukup masuk ke hobi dan kesukaannya, atau ke komunitasnya.
Terakhir, karena pekerjaan silent operations membutuhkan tim solid yang tidak boleh membocorkan rahasia key message, maka harus dipastikan betul bahwa tim ini hanya memberikan laporan maksimal pada direksi dan komite product launch. Komite product launch pun tidak semuanya boleh mendengarkan progress report.
Dan, tentu saja, tim silent operations itu sendiri yang harus diwanti-wanti. Jangan sampai berperilaku seperti intel melayu zaman dahulu, yang karena merasa penting dan punya banyak rahasia, justru berkoar bahwa dia adalah tim elit tersebut. Itu bukan silent operations lagi namanya, tapi “silent of the lamb”; diam, tapi tetap saja kecium baunya.
0 comments:
Post a Comment