VIVAnews -
Bukan lagi anak-anak, tapi belum pula jadi orang dewasa. Selalu
menyimpan rasa penasaran dan mencoba segala sesuatu yang menantang. Haus
akan aktivitas pembangkit adrenalin.
Di usia penuh gejolak, remaja bisa jadi peluang besar masa depan cemerlang suatu bangsa atau sebaliknya, penyebab kehancuran. Indonesia dengan jumlah populasi generasi muda yang besar, menghadapi dua sisi berlawanan ini.
Dari sekitar 237 juta penduduk Indonesia, jumlah remaja terbilang besar, mencapai 63,4 juta atau sekitar 26,7 persen dari total penduduk. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief menyebut, ada tiga masalah yang paling menonjol pada remaja Indonesia, yakni seksualitas, penyalahgunaan narkotika dan HIV/AIDS. Tiga masalah yang berpilin satu sama lain.
Berbagai penelitian mengungkap betapa mengkhawatirkan kondisi remaja Indonesia. Penelitian Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) pada 2007 lalu menemukan, perilaku seks bebas bukanlah sesuatu yang aneh dalam kehidupan remaja Indonesia. Satu persen remaja wanita dan enam persen remaja pria mengaku telah menjalani perilaku seks bebas. "Ditelusuri lebih jauh lagi, remaja yang mengetahui teman mereka melakukan seks bebas di luar nikah jumlahnya sangat besar, mencapai 26 persen," ungkapnya.
Tak heran, fenomena kehamilan dan kelahiran pra nikah meningkat drastis di kalangan generasi muda. Sebuah studi lainnya pada 2010 di daerah kota besar seperti Jakarta, Bekasi dan Tangerang menunjukkan 20,6 persen remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah. "Makanya, salah satu fokus dan kampanye pada remaja adalah mengurangi Triad, dengan memperkenalkan GenRe, atau Generasi Rencana," ujarnya.
Genre
Di usia penuh gejolak, remaja bisa jadi peluang besar masa depan cemerlang suatu bangsa atau sebaliknya, penyebab kehancuran. Indonesia dengan jumlah populasi generasi muda yang besar, menghadapi dua sisi berlawanan ini.
Dari sekitar 237 juta penduduk Indonesia, jumlah remaja terbilang besar, mencapai 63,4 juta atau sekitar 26,7 persen dari total penduduk. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief menyebut, ada tiga masalah yang paling menonjol pada remaja Indonesia, yakni seksualitas, penyalahgunaan narkotika dan HIV/AIDS. Tiga masalah yang berpilin satu sama lain.
Berbagai penelitian mengungkap betapa mengkhawatirkan kondisi remaja Indonesia. Penelitian Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) pada 2007 lalu menemukan, perilaku seks bebas bukanlah sesuatu yang aneh dalam kehidupan remaja Indonesia. Satu persen remaja wanita dan enam persen remaja pria mengaku telah menjalani perilaku seks bebas. "Ditelusuri lebih jauh lagi, remaja yang mengetahui teman mereka melakukan seks bebas di luar nikah jumlahnya sangat besar, mencapai 26 persen," ungkapnya.
Tak heran, fenomena kehamilan dan kelahiran pra nikah meningkat drastis di kalangan generasi muda. Sebuah studi lainnya pada 2010 di daerah kota besar seperti Jakarta, Bekasi dan Tangerang menunjukkan 20,6 persen remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah. "Makanya, salah satu fokus dan kampanye pada remaja adalah mengurangi Triad, dengan memperkenalkan GenRe, atau Generasi Rencana," ujarnya.
Genre
Bagi remaja modern,
Keluarga Berencana tak lagi laku. Dianggap bagian masa lalu orangtua dan
generasi pendahulu mereka. Pemerintah lewat BKKBN harus putar otak,
agar esensi yang sama bisa dikampanyekan pada generasi kritis tersebut.
Maka, lahirlah Generasi Rencana atau GenRe. Kampanyenya didekatkan
dengan denyut kehidupan remaja. Hadir dalam berbagai media seni, pentas
panggung lawak, sosialisasi ke berbagai sekolah, hiburan hingga
melanglang pusat perbelanjaan tempat anak muda modern berkumpul.
Pendekatan bagi remaja adalah kontrasepsi sebagai perlindungan terhadap kesehatan reproduksi, bukan sebagai alat pengendali kelahiran.
"GenRe atau Generasi Berencana dalam berbagai kampanye menekankan bahwa merencanakan pendidikan, keluarga dan kesehatan akan lebih bermanfaat bagi mereka ketimbang harus menikah dalam usia muda. Kami ingin menjadikan GenRe sebagai sebuah gaya hidup, bukan sebagai kewajiban untuk menekan angka kelahiran."
Meski begitu, sosialisasi diakui tak semulus yang diharapkan. Agama dan budaya kerap menjadi batu sandungan. Masih banyak yang berpikir kampanye GenRe berarti mendorong hubungan seks bebas. Untuk itu, pendekatannya adalah untuk kesehatan bukan pengendalian penduduk. "Kami bekerjasama dengan lembaga agama untuk mensosialisasikan penggunaan KB lainnya yang sesuai dengan keyakinan."
Pendidikan Seks, Kewajiban Siapa?
Keprihatian soal seks bebas di kalangan remaja juga datang dari pakar. Psikolog seks Zoya Amirin mengatakan, maraknya perilaku seksual tak sehat di kalangan remaja berasal dari banyak faktor. Mulai dari informasi soal seksualitas yang makin mudah diakses, kurangnya perhatian pemerintah dalam hal konten seks pada anak dan remaja hingga minimnya seks edukasi di lingkungan keluarga.
Sebagai lingkungan yang pertama kali dikenal anak, keluarga bisa menjadi sumber pendidikan seks yang mendasar. "Orangtua telah melalui masa-masa yang dialami anak-anak mereka. Maka, seharusnya dengan memahami kondisi anak dan remaja. Orangtua bisa berbagi sekaligus mendidik bagaimana menyikapi perubahan yang terjadi pada diri anak," ucapnya.
Seperti halnya minuman alkohol atau narkoba, tanpa pendidikan seks yang tepat, remaja yang merasakan seks sebagai sesuatu yang nikmat dan bisa kecanduan.
Di keluarga, ayah bisa berperan sebagai sahabat anak laki-laki saat si anak mengalami pubertas atau mengalami mimpi basah. "Ayah bisa mengatakan setelah mimpi basah, anak akan tertarik dan terangsang melihat perempuan. Sehingga usahakan agar bila memiliki pacar berada di tempat ramai agar tak menjurus ke seks. Mereka juga disadarkan mereka bisa membuat hamil anak orang lain," ujarnya.
Begitu juga peran ibu dalam pendidikan seks dalam keluarga menjadi penting saat anak memasuki masa menstruasi. "Kalau anak perempuan mens, ibu harus memberi pengertian bahwa anak perempuan akan mulai naksir lawan jenis dan mereka pun bisa hamil," katanya.
Dari situ, orangtua bisa mengarahkan anak agar mampu menolak lawan jenis yang mereka sukai, mendeteksi dan menolak pelecehan seksual yang dilakukan orang lain kepada mereka. Dengan membicarakan seks secara sehat dalam keluarga, bukan saja anak mendapat informasi yang benar, mereka juga memahami mengapa terjadi perubahan pada tubuh mereka.
Pendekatan bagi remaja adalah kontrasepsi sebagai perlindungan terhadap kesehatan reproduksi, bukan sebagai alat pengendali kelahiran.
"GenRe atau Generasi Berencana dalam berbagai kampanye menekankan bahwa merencanakan pendidikan, keluarga dan kesehatan akan lebih bermanfaat bagi mereka ketimbang harus menikah dalam usia muda. Kami ingin menjadikan GenRe sebagai sebuah gaya hidup, bukan sebagai kewajiban untuk menekan angka kelahiran."
Meski begitu, sosialisasi diakui tak semulus yang diharapkan. Agama dan budaya kerap menjadi batu sandungan. Masih banyak yang berpikir kampanye GenRe berarti mendorong hubungan seks bebas. Untuk itu, pendekatannya adalah untuk kesehatan bukan pengendalian penduduk. "Kami bekerjasama dengan lembaga agama untuk mensosialisasikan penggunaan KB lainnya yang sesuai dengan keyakinan."
Pendidikan Seks, Kewajiban Siapa?
Keprihatian soal seks bebas di kalangan remaja juga datang dari pakar. Psikolog seks Zoya Amirin mengatakan, maraknya perilaku seksual tak sehat di kalangan remaja berasal dari banyak faktor. Mulai dari informasi soal seksualitas yang makin mudah diakses, kurangnya perhatian pemerintah dalam hal konten seks pada anak dan remaja hingga minimnya seks edukasi di lingkungan keluarga.
Sebagai lingkungan yang pertama kali dikenal anak, keluarga bisa menjadi sumber pendidikan seks yang mendasar. "Orangtua telah melalui masa-masa yang dialami anak-anak mereka. Maka, seharusnya dengan memahami kondisi anak dan remaja. Orangtua bisa berbagi sekaligus mendidik bagaimana menyikapi perubahan yang terjadi pada diri anak," ucapnya.
Seperti halnya minuman alkohol atau narkoba, tanpa pendidikan seks yang tepat, remaja yang merasakan seks sebagai sesuatu yang nikmat dan bisa kecanduan.
Di keluarga, ayah bisa berperan sebagai sahabat anak laki-laki saat si anak mengalami pubertas atau mengalami mimpi basah. "Ayah bisa mengatakan setelah mimpi basah, anak akan tertarik dan terangsang melihat perempuan. Sehingga usahakan agar bila memiliki pacar berada di tempat ramai agar tak menjurus ke seks. Mereka juga disadarkan mereka bisa membuat hamil anak orang lain," ujarnya.
Begitu juga peran ibu dalam pendidikan seks dalam keluarga menjadi penting saat anak memasuki masa menstruasi. "Kalau anak perempuan mens, ibu harus memberi pengertian bahwa anak perempuan akan mulai naksir lawan jenis dan mereka pun bisa hamil," katanya.
Dari situ, orangtua bisa mengarahkan anak agar mampu menolak lawan jenis yang mereka sukai, mendeteksi dan menolak pelecehan seksual yang dilakukan orang lain kepada mereka. Dengan membicarakan seks secara sehat dalam keluarga, bukan saja anak mendapat informasi yang benar, mereka juga memahami mengapa terjadi perubahan pada tubuh mereka.
Tapi, Zoya mengingatkan
mengandalkan keluarga saja untuk menepis perilaku seks bebas takkan
banyak berarti. Pendidikan di sekolah, pemuka agama, masyarakat, dan
pemerintah punya peran yang sama untuk memberi pendidikan seks.
Zoya menyontohkan,
pemerintah lewat kekuatan menekan harus menertibkan standar untuk
membatasi tayangan yang belum pantas ditonton remaja. "Kalau ada film 18
tahun ke atas di bioskop, maka semua penonton seharusnya memperlihatkan
KTP saat membeli tiket. Kalau film 13 tahun ke atas juga seharusnya tak
boleh ditonton anak-anak," tegasnya. (eh)
0 comments:
Post a Comment