Dewasa ini, industri perfilman merupakan sebuah industri yang berkembang dengan cepat. Hal ini didukung oleh pesatnya kemajuan teknologi di dunia. Rata-rata orang Indonesia paling tidak, pernah menonton film. Entah itu film-film dari ranah Hollywood, Bollywood, hingga kelas film horor murahan Indonesia. Bahkan berkat kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat, kita orang awam pun mampu membuat film ala kadarnya hanya melalui handphone atau kamera DSLR.
Seperti yang telah disebutkan diatas, perkembangan film tidak luput dari perkembangan teknologi. Padahal teknologi sendiri bisa diibaratkan bagai pedang bermata dua. Dengan teknologi saat ini, masyarakat makin mudah mendapatkan sebuah karya “palsu” yang dilindungi oleh HAKI.
Lalu, dukungan apa saja yang diberikan Pemerintah kepada industri perfilman dalam hal pembajakan ini sendiri. Dan apa saja hukuman bagi yang melanggar Undang-undang tersebut?.
Kemajuan teknologi ini juga semakin mempermudah para pembajak film melakukan tugasnya. Hanya dengan bermodal uang 1 juta rupiah untuk membeli sebuah dvd film asli, keping dvd, dan sebuah alat duplikasi, mereka bisa meraup keuntungan yang tidak sedikit. Kebutuhan serta mental masyarakat menjadi pemicu adanya praktek-praktek pembajakan film.
Sebelum kita membahas praktek pembajakan lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui sejarah film diciptakan.
Undang-Undang Perfilman :
Melihat banyaknya pembajakan yang ada, pemerintah akhirnya turun tangan dengan menerbitkan UU NO.8 TAHUN 1992 tentang perfilman. Dari UU yang panjang tersebut, kita bisa melihat beberapa hal penting yang dikandung dalam UU tersebut. Antara lain :
a. Bab 1, Pasal 1, Ayat 1
Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.
b. Bab 3, Pasal 4
Film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar mempunyai fungsi penerangan, pendidikan, pengembangan budaya bangsa, hiburan, dan ekonomi.
c. Bab 3, Pasal 7, Ayat 1
Film merupakan karya cipta seni dan budaya yang dilindungi berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
Sumber : http://www.kpi.go.id/download/regula...0Perfilman.pdf
Dukungan Undang-Undang hak Cipta
Dari UU tentang perfilman diatas, ada suatu celah hukum yang membiarkan para pembajak bebas melakukan pekerjaannya. Yaitu tidak adanya hukuman yang pantas bagi para pembajak. Tapi karena film merupakan suatu produk dari Hak Cipta yang termasuk dalam HAKI (Hak Kekayaan Intelektual), maka UU ini berkaitan erat dengan UU tentang Hak Cipta. Sedangkan UU Hak Cipta yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UU No. 19 Tahun 2002.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
“Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 1 ayat 1)”
Hak Cipta merupakan hak yang melindungi HKI seseorang. Tapi HKI tersebut bisa digunakan dengan seizin penemunya karena hal itu merupakan hak eksklusif penemunya. Biasanya Hak Cipta ditandai dengan logo © yang berarti Copyright. Tetapi hak ini tidak melarang orang lain menulis dengan tema yang sama.
Hak Cipta juga mencakup karya turunan (derivative works). Misalnya saja, orang tidak bisa membuat buku Harry Potter 8 tanpa seizin J.K. Rowling. Karena buku bernama Harry Potter sudah menjadi Hak Cipta J.K Rowling.
Dalam UU Hak Cipta sendiri disebutkan bahwa sinematografi termasuk ke dalam HAKI yang dilindungi negara (Pasal 12j). UU ini membuat para gerakan para pembajak Film kesulitan karena hukuman yang tidak main-main seperti yang dijelaskan Pasal 72 sebagai berikut :
a. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
b. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Sumber : http://id.wikisource.org/wiki/Undang..._19_Tahun_2002
Dari uraian pembahasan “Pembajakan dalam Industri Film” ini, kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Industri Film profesional membuat sebuah film dengan biaya yang tidak sedikit. Berbeda dengan pembuatan film amatir yang bisa dilakukan hanya dengan modal Handycam atau bahkan Handphone ataupun kamera DSLR.
2. Film merupakan sebuah karya cipta yang dilindungi oleh UU NO.19 Tahun 2002.
3. Hukuman pembajakan tidak hanya berlaku bagi para pembajak, tetapi juga para pengedar barang hasil pembajakan tersebut.
Dari kesimpulan diatas, saran saya sebagai berikut :
1. Sudah seharusnya kita menghargai para pembuat film dengan tidak membeli film bajakan. Karena seperti yang telah diuraikan diatas, Biaya pembuatan film merupakan investasi yang harus dikembalikan. Selain itu, kualitas film asli dengan film bajakan tidaklah sama.
2. Pembajakan sudah mempunyai hukuman tersendiri yang diatur dalam UU NO.19 Tahun 2002. Tinggal bagaimana masyarakat Indonesia pada khususnya serta Aparat Pemerintahan pada umumnya menindaklanjuti UU tersebut. Ketegasan amat sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini.
0 comments:
Post a Comment