Akhir-akhir ini, publik masyarakat dan media sedang marak me (di)
ributkan soal “rok mini”. Persoalan ini tidak jarang menimbulkan
stigmatisasi dan keresahan-keresahan, yang tentu saja menyudutkan
perempuan. Meski memang, persoalan ini muncul kemuka bukan tanpa sebab,
sebagaimana diketahui, sudah sering sekali terjadi tindak pelecehan
terhadap perempuan, mulai dari tindak perkosaan di angkot (angkutan
kota), sampai pada fenomena rok mini oleh sebagian anggota DPR
perempuan, yang kemudian dikaitkan dengan tindak amoral oknum (sebagian)
anggota DPR, dan seterusnya. Menanggapi persoalan ini, kontan saja
banyak menuai tanggapan dan respon dari pelbagai lapisan masyarakat,
tanggapan dan responnyapun beragam, yang pada akhirnya menyisakan pro
dan kontra.
Pertama, bagi kalangan yang cenderung kontra, pemakaian rok
mini ini adalah penyebab utama yang memicu maraknya perkosaan dan
berbagai aksi pelecehan seksual lainnya terhadap perempuan. Alasannya,
karena dengan memakai rok mini dapat memancing birahi para lelaki,
dengan kata lain, lelaki siapa yang tidak jengah melihat perempuan
ber-rok mini, berparas cantik, dan seterusnya. Namun perlu dicatat, ada
yang luput dari pandangan kalangan ini, ibarat pepatah mengatakan “sudah
jatuh tertimpa tangga”, perempuan yang menjadi korban perkosaan, bukan
malah dilindungi, tetapi justru disumpah serapah sebagai akibat (kata
mereka) dari keengganannya “berbusana Muslim” dan menutup aurat.
Kedua, berbeda dengan pandangan kalangan pertama diatas,
kalangan kedua ini berkecenderungan pro, mereka umumnya berdalih bahwa
pemakaian rok mini atau apapun model pakaian “seksi” lainnya adalah hak
seorang perempuan. Oleh karena termasuk hak perempuan, memakai rok mini
adalah bagian dari kebebasan (ekspresi) yang dilindungi undang-undang.
Dan, memakai rok mini sama sekali tidak ada keterkaitannya dengan
penyebab tingginya pelecehan seksual terhadap perempuan. Sehingga,
kalaupun pelecehan seksual begitu marak akhir-akhir ini, penyebabnya
bukan karena perempuan memakai rok mini, melainkan karena ulah para
hidung belang, yang pikirannya “kurang waras”. Sungguhpun demikian, yang
agak luput dari kalangan ini adalah bahwa tren “buka-bukaan” selain tak
senada dengan budaya bangsa agama, juga tetap dapat memicu hal-hal yang
tidak diinginkan.
Ketiga, adalah kalangan yang bersikap acuh. Keacuhan sikapnya
juga bukan tanpa alasan, menurut kalangan ini, isu rok mini atau isu-isu
“kecil” lainnya, hanyalah sebuah pengalihan isu dari
persoalan-persoalan lama yang sangat pelik. Isu rok mini hanya salah
satu bentuk pengalihan isu atas ketidakmampuan pemerintah dalam
memberantas kasus-kasus korupsi, contohnya. Dengan lain kata, ini
hanyalah kepentingan politik yang hanya akan menguntungkan segelintir
orang tertentu, dan tidak akan berlangsung lama. Meskipun begitu, tetap
ada yang lekang dari kelompok ini, bahwa sekecil apapun persoalan yang
mendera bangsa ini, yakinlah bahwa persoalan tersebut harus diberikan
solusi baik, secara bersama, untuk kepentingan bersama, sebagai wujud
kepedulian sosial.
Lepas dari itu, saya tidak hendak mengkonfrontir apalagi mempersalahkan
ketiga pandangan diatas. Namun saya hanya ingin mencoba menceburkan
diri, (sekali lagi) bukan untuk memperkeruh suasana (minimal saya
berharap demikian), melainkan ingin mengajukan beberapa cara
pandang—yang dalam hemat saya—merupakan bentuk upaya dalam menyikapi
persoalan ini secara dingin, tidak emosional, dan tekun.
Pertama, prinsip kesetaraan. Saya hendak menggarisbawahi bahwa
perempuan merupakan manusia yang sama kedudukannya sebagaimana
laki-laki, bukan hanya karena keduanya bersumber dari ayah dan ibu yang
sama, tetapi juga ini merupakan pernyataan Allah Swt dalam QS.
ali-‘Imran [3]: 39, dimana keduanya sebagai makhluk yang diciptakan dari
jiwa yang satu (nafs al-Wahidah). Oleh karena itu
konsekuensinya adalah, keduanya berhak dan patut memperoleh penghormatan
dan pembelaan yang sama dan setara, sebagaimana manusia pada galibnya
Kedua, prinsip sosio-kultur. Ini berkenaan dengan rok mini yang
sering dikaitkan dekat dengan term aurat, sekurangnya menurut beberapa
cendekiawan muslim disebutkan diantaranya; M. Quraish Shihab, Husein
Muhammad, dan Nasaruddin Umar, sampai pada kesimpulan bahwa aurat bukan
terminologi agama. Oleh karena batas-batas aurat tersebut tidak
disebutkan al-Qur’an secara jelas, sehingga dengan demikian, yang berhak
menentukan batas-batas aurat tersebut disesuaikan dengan terminologi
sosio-kultural masyarakat tertentu yang beragam dan berbeda satu sama
lain.
Ketiga, prinsip perlindungan dan keadilan. Perempuan sebagai
objek penderita tindak perkosaan atau pelecehan seksual lainnya, sudah
semestinya mendapatkan perlindungan dan keadilan. Perlindungan dan
keadilan dalam bentuk motivasi psikologis dan advokasi keadilan
berlandaskan payung hukum yang berlaku. Sehingga dengan ini, yang ada
bukan menyumpah serapah korban, akan tetapi sebaliknya harus dapat
mengurangi beban mental dan psikologis yang dideritanya.
Keempat, prinsip kesantunan. Ya, apapun pandangan anda terhadap
persoalan ini, hendaknya disampaikan secara santun, tidak menghakimi,
tidak mau menang sendiri, apalagi menyumpah separah. Merubah apa yang
patut anda rubah dengan perlahan, bertahap, dan santun.
Empat upaya diatas, diajukan untuk meminimalisir stigmatisasi ataupun
keresahan-keresahan lainnya yang selama ini menggejala di sebagian
masyarakat dalam menyoal perempuan, aurat, dan rok mini. Wal hasil,
dengan empat upaya ini saya berharap, apapun pandangan yang mengemuka
tidak lain akan merupa keadilan dan kesantunan yang berpihak kepada
orang-orang yang terdholimi, terutama berpihak pada perempuan korban
perkosaan atau korban pelecehan seksual lainnya. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
0 comments:
Post a Comment