- Niat Sholat
Baik Nahdhatul Ulama maupun
Muhammadiyah sepakat bahwa niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun.
Perbedaan pendapat hanya muncul dalam menjawab pertanyaan, apakah niat shalat perlu
dilafalkan atau tidak, dan apa hukumnya melafalkan niat dalam shalat?
- Nahdhatul Ulama
Melafalkan niat
shalat ketika menjelang takbiratul ihram sudah menjadi kebiasaan warga NU.
Lafadl niat shalat diawali dengan kalimah “ushalli”
yang artinya “aku berniat melakukan shalat”. Kalau yang akan dikerjakan
shalat shubuh maka lafadh niatnya yang lengkap menjadi “Ushalli fardla subhi
rak’ataini mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat
melakukan shalat fardlu subuh dzuhur dua empat raka’at dengan menghadap kiblat
dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT).
Hukum
melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul
ikhram, demikian Cholil Nafis, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
dalam situs resmi NU, menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam
Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah)
adalah sunnah. Hal ini dikarena
melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga
membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Melafadhkan
niat shalat merupakan wujud dari kehati-hatian. Sebab, jika seseorang salah
dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan
niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah
niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat
‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak
mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Berkaitan dengan pendapat yang tidak menganjurkan pelafadzan niat shalat,
Cholil Nafis tak lupa melengkapi argumennya. Ia menambahkan, bahwa menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan
pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) melafalkan niat shalat sebelum takbiratul
ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was
(peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa
melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula),
tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum
shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat
shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan)
melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Dasar atau
argumen NU selanjutnya adalah hadist Rasul tentang pelafalan niat dalam suatu
ibadah wajib yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan
ibadah haji.
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).
Memang, ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu bukan untuk
ibadah shalat, bukan pula wudhu, dan puasa, melaikan ibadah haji. Namun
demikian, menurut Cholil Nafis, apa yang dikerjakan Nabi tersebut tidak berarti
selain haji. Apa yang dilakukan Nabi bisa diqiyaskan atau dianalogikan, yakni
disunnahkannya pelafalan niat shalat.
Tempatnya niat ada di hati, NU tidak menampik hal ini. Namun demikian,
masih menurut Cholil Nafis, untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan
empat hal yaitu,
1. Islam
2. Berakal sehat (tamyiz)
3. Mengetahui
sesuatu yang diniatkan
4. Tidak ada
sesuatu yang merusak niat.
Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur
tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah
dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid
dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua,
untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan
antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori
tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum
melafalkan niat adalah sunnah. Fatwa sunnah melafalkan niat dari NU juga
dikuatkan dengan pendapat Imam Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj: “Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir
(shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari
gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan
melafalkan niat”.
Selain
itu, dasar-dasar tersebut di atas, melafalkan niat (Talaffudz Binniyah) juga
berdasar kepada al-Qur’an surat ayat (disunnahkannya melafalkan niat Ayat–ayat
Al-Qur’an berikut:
Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada
malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan. (Qaaf: 18)
Barangsiapa
yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab
yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur. (Q.S. Fathir: 10)
Sebagian
ahli tafsir mengatakan bahwa perkataan yang baik itu ialah kalimat tauhid yaitu
Laa ilaa ha illallaah; dan ada pula yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada
pula yang mengatakan semua perkataan yang baik yang diucapkan karena Allah.
Perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk diterima dan diberi-Nya
pahala.
Melafalkan
niat dengan lisan adalah suatu kebaikan yang akan dicatat amalnya oleh Malaikan
pencacat amal kebaikan. Segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima
oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan
lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).
Hadits-Hadist
lain yang menjadi dasar talaffudz
binniyah adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin
ra. Beliau berkata: “Pada suatu hari
Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang
dimakan? Aisyah Rha. menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu
pun”. Mendengar itu Rasulullah Saw. bersabda : “Kalau begitu hari ini aku
puasa”. (HR. Muslim).
Hadits
ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. mengucapkan niat atau talafudz bin niyyah
ketika beliau hendak berpuasa sunnat.
Hadits
Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika
tengah berada di Wadi Aqiq: ”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini
dan ucapkanlah “sengaja aku umrah di dalam haji”. (Hadis Sahih riwayat Imam-Bukhari)
Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata: “Aku pernah shalat Idul Adha bersama Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata: “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban di antara ummatku.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi)
Dari
hadis-hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan
atau talafudz binniyah ketika beliau akan haji, puasa, maupun
menyembelih qurban, sehingga hal ini sangat bisa diqiyaskan dalam perkara
shalat.
Sekali lagi,
perlu ditegaskan bahwa, fungsi melafalkan niat, menurut Fuqoha kaum NU adalah
untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga
dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat
hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak
berdosa.
- Muhammadiyah
Dalam kitab himpunan Putusan Tajrih Muhammadiyah, pada
pembahasan masalah shalat, di awali dengan beberapa dalil, baik al-Qur’an dan
hadis. Berkaitan dengan tema yang sedang kita bahas, ada satu dalil hadist yang
diletakkan dalam pendahuluan HPT Muhammadiah bab Shalat, yakni Hadits dari Malik bin Huwairits ra.
bahwa Rasulullah saw. Bersabda, yang artinya:
"Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat". (HR. al-Bukhari).
Hadist
tersebut menjadi salah satu dasar bagi Muhammadiyah bahwa niat dalam shalat
tidak perlu dilafalkan. Karena memang tidak ada dalil yang memerintahkan atau
tidak ada peristiwa di mana para shahabat Nabi melihhat Nabi Muhammad
melafalkan niat dalam shalat.
Sejauh ini, Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah (HPT) tidak menyebutkan secara rinci berkaitan dengan
alasan-alasan Muhammadiyah tidak melafalkan niat shalat. Dalam HPT hanya
disebutkan bahwa “bila kamu hendak
menjalankan shalat, maka bacalah: "Allahu Akbar" , dengan ikhlas
niatmu karena Allah seraya mengangkat kedua belah tanganmu sejurus bahumu,
mensejajarkan ibu jarimu pada daun telingamu.”
Dalam HPT juga disebutkan dalil hadis
shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, yang artinya:
"Kunci
(pembuka) shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan penghabisannya salam".
Juga hadis shahih dari Ibnu Majah yang
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari hadis Abi Humaid Sa'idi
bahwa Rasulullah, jika shalat ia menghadap ke Qiblat dan mengangkat kedua belah
tangannya dengan membaca "Allahu Akbar".
Niat sholat itu sesuatu yang wajib
hukumnya dalam shalat menurut Muhammadiyah. Hal ini didasaarkan firman Allah
surah al-Bayyinah 6:
"Dan
tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan
ikhlas kepadaNya daam menjalankan Agama".(Q.S. AL-Bayyinah: 6)
Juga
hadis Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya
(sahnya) amal itu tergantung kepada niat." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Namun
Muhammadiyah tidak memberikan pedoman kepada warganya untuk melafalkan niat. Muhammadiyah
menyatakan bahwa niat
itu bukan amalan anggota tubuh. Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan
anggota tubuh dengan niat, bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk
beramal. Oleh karena itu melafalkan
niat, bagi Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang disunnahkan. Dalil dari fatwa ini
jelas, bahwa melafalkan niat tidak pernah dilakukan Rasulullah saw.
Hal
ini pernah ditegaskan oleh Syakir Jamaluddin, Ketua Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat
memberikan materi “Ibadah Praktis Perspektif Muhammadiyah” pada acara Baitul
Arqam Karyawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Syakir Jamaluddin
mengatakan, bid’ah (penyimpangan) yang terjadi di masyarakat mengenai tata cara
shalat Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai niat. Niat itu, kata Syakir, di dalam
hati secara ikhlas karena Allah semata. Niat adalah perbuatan hati, bukan
perbuatan mulut sehingga tidak perlu diucapkan. Ia melanjutkan, tidak ada satu
pun hadis, baik yang dhaif (lemah), dan sahih menjelaskan tentang adanya
tuntunan melafalkan niat ketika hendak memulai shalat.
Selain
itu, argumen lain dari tidak disunnahkannya melafalkan niat shalat adalah,
bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati setiap orang, maka niat tidak
perlu diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada
perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya.
Berkaitan
dengan hadis Rasulullah yang oleh ulama NU dijadikan dalil bahwa niat juga
pernah diucapkan Rasulullah sebelum haji, maka pihak yang menolak
disunnahkannya melafalkan niat sebelum shalat menganggap bahwa apa yang
dicapkan Nabi tersebut adalah talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan
talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban
terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan
pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati.
0 comments:
Post a Comment