Banyaknya praktik kesyirikan yang terjadi di tengah umat menandakan ada yang salah dalam pemahaman umat akan makna tauhid.
Terlebih cara memaknainya dilatari sudut pandang kelompoknya
masing-masing. Maka yang terjadi tauhid dipahami secara beragam sesuai
“selera” masing-masing, kesyirikan bisa dinamakan tauhid dan tauhid
malah dihukumi syirik.
Menurut Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam risalahnya,
Tsalatsah Al-Ushul, dinyatakan bahwa seagung-agung perintah Allah l
adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah l dalam peribadahan. Dan
seagung-agung larangan adalah syirik, yaitu menyeru kepada selain Allah l
bersamaan dengan menyeru (beribadah) kepada Allah l. Hal ini
berdasarkan dalil surat An-Nisa` ayat 36:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan–Nya dengan sesuatupun.” (An-Nisa: 36)
Demikianlah, betapa agung dan luhur masalah tauhid ini. Bahkan Al-Imam
Al-Qadhi Ali bin Ali bin Muhammad bin Abi Al-Izzi Ad-Dimasyqi t
mengungkapkan bahwa Al-Qur`an semuanya adalah tauhid, hak-haknya, dan
balasan-balasannya. Termasuk di dalamnya terkandung muatan tentang
masalah syirik, para pelakunya dan balasan-balasan sebagai akibat dari
perbuatannya. Ini bisa dilihat dalam surat Al-Fatihah. Misalnya
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin adalah tauhid, Arrahmanirrahim merupakan
tauhid. Maliki yaumiddin juga tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in
adalah tauhid. Ihdinash-shirathal mustaqim merupakan representasi dari
tauhid yang meliputi permohonan guna mendapatkan hidayah ke jalan ahli
tauhid, yaitu orang-orang yang telah Allah l beri nikmat atas mereka.
Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh-dhallin adalah penjelasan tentang
orang-orang yang telah memisahkan diri dari tauhid. (Syarhu Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyyah, hal. 142)
Maka sudah sepatutnya bila dikatakan bahwa yang mengawali seorang
individu untuk memeluk Islam adalah tauhid dan akhir dari kehidupannya
di dunia ditutup dengan tauhid pula. Seperti dinyatakan oleh Al-Imam
Al-Qadhi Ibnu Abi Al-Izzi t bahwa awal adalah wajib dan akhir (juga)
wajib. Maka tauhid merupakan awal masuk dalam Islam dan merupakan akhir
bagi seseorang kala dikeluarkan dari dunia (mati). Sebagaimana sabda
Rasulullah n:
مَنْ كَانَ آخِرَ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa Ilaaha illallah, dia masuk surga,” (HR. Abu Dawud, Al-Hakim,
Ibnu Mandah dalam At-Tauhid, dan Ahmad. Hadits ini dinyatakan oleh
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani sebagai hadits hasan, lihat
Irwa`ul Ghalil hadits no. 687, hal. 149-150)
Begitupun, ketika hari dibangkitkan itu tiba. Ketika harta dan anak-anak
lelaki tiada lagi guna, tidak lagi memberi nilai manfaat, maka pada
hari itu beruntunglah orang yang memiliki hati yang bersih (qalbun
salim). Allah l berfirman:
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ. إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Yaitu) pada hari yang harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”
(Asy-Syu’ara`: 88-89)
Apakah hati yang bersih itu? Kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t, hati yang
bersih adalah hati yang bersih atau selamat dari segala sesuatu yang
menjadikan selain Allah l (dalam segala bentuknya) sebagai sekutu.
Karenanya, hati yang bersih adalah yang memurnikan segala bentuk
peribadatan hanya untuk Allahlsemata. Iradah (kehendak), mahabbah
(cinta), tawakal, taubat, ikhbatan (khusyu’) tawadhu’, (berendah diri),
khasyyah (takut), dan raja` (harapan) semuanya murni diamalkan karena
Allah l semata. (Ighatsatul Lahafan min Mashayidi Asy-Syaithan hal. 41)
Sedang menurut Ibnu Katsir t dalam Tafsir-nya, yang dimaksud hati yang
bersih adalah (bersih) dari kotoran dan kesyirikan. Beliaupun menukil
perkataan Ibnu ‘Abbas c bahwa hati yang bersih adalah hati yang selamat,
yang (melakukan) kesaksian bahwa tiada Ilah yang diibadahi secara haq
kecuali hanya Allah l. Pendapat yang hampir serupa, diungkapkan pula
oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di ketika beliau
menjelaskan surat Asy-Syu’ara` ayat 88-89 ini dalam kitab tafsirnya
Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalami Al-Mannan. Beliau t memaknai
hati yang bersih adalah yang bersih dari kesyirikan, syak (keraguan
terhadap kebenaran), bebas dari sikap mencintai sesuatu yang buruk dan
menyuarakan kebid’ahan serta dosa-dosa.
Nyata sudah, betapa hati nan bersih adalah hati yang diselimuti tauhid.
Hati yang senantiasa dibasuh dengan kalimat Laa ilaha illallah. Menepis
kesyirikan hingga tak bercokol di dalam kalbu. Berbeda dengan para
pelaku kesyirikan, mereka diharamkan mendapatkan surga, dan tempat
mereka di neraka. Allah l berfirman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka.”
(Al-Ma`idah: 72)
Begitulah syirik, sebuah dosa yang pelakunya tak akan mendapatkan
ampunan dari Allah l bila sampai terbawa mati dan tidak sempat
bertaubat.
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
(An-Nisa`: 48)
Demikian arti penting tauhid. Dia merupakan asas agama. Setiap perintah,
larangan, peribadahan, dan ketaatan, semuanya didasari adanya tauhid.
Tanpa didasari tauhid, maka amalan akan sirna, hancur luluh tiada
berarti apa pun. Kerugianlah yang akan didapat.
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan (Allah l), niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Dalam memahami makna tauhid, yaitu makna Laa ilaha illallah, hendaknya
perlu dicermati bahwa di tengah kehidupan masyarakat ada
pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Beberapa pemahaman yang menyimpang
tentang makna Laa ilaha illallah ini diterangkan Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan saat memberi syarah (penjelasan) terhadap Tafsir
Kalimat At-Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t. Berikut
tafsir (pemahaman) kalimat tauhid Laa ilaha illallah yang menyimpang:
1. Tafsir Wihdatul wujud
Para pengikut aliran wihdatul wujud yang dianut oleh Ibnu ‘Arabi dan
para pengikutnya, menyatakan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah Laa
ma’buda illallah (tidak ada yang disembah kecuali Allah) atau Laa ilaha
maujudun illallah (tidak ada Ilah yang ada kecuali Allah).
Bila diartikan semacam itu, maka segala sesuatu yang disembah semuanya
adalah Allah. Karena menurut pemahaman mereka bahwa Al-Wujud tidak
terpilah antara Khaliq (pencipta) dengan makhluk. Semuanya (Khaliq dan
makhluk) adalah Allah. Pemahaman semacam ini, di kalangan penganut
wihdatul wujud, menjadikan al-wujud (menyatu) dan tidak dibedakan
(antara makhluk dan Khaliq).
Maka seseorang yang menyembah manusia karena sesuatu, senyatanya dia
menyembah Allah l. Seseorang yang menyembah sapi, berhala, batu,
malaikat, semuanya diartikan menyembah Allah l. Karena Allah adalah
sesuatu yang wujud atau ada (al-wujud) secara mutlak (maka setiap yang
wujud, seperti sapi, berhala, batu, malaikat, semuanya adalah Allah l,
pen.).
Bagi mereka, seseorang yang memahami bahwa al-wujud itu terbagi dua
bagian: Khaliq dan makhluk, maka orang tersebut dinyatakan sebagai
musyrik. Seseorang tidak dikategorikan sebagai muwahhid (bertauhid)
menurut mereka, kecuali dia mengatakan, “Sesungguhnya al-wujud
(keberadaan) sesuatu itu satu, yaitu Allah.” Inilah kebatilan pemahaman
wihdatul wujud, bahwa semua benda yang ada adalah Allah l.
2. Tafsir Ulama Ilmu Kalam
Para ulama al-kalam menyatakan bahwa Laa ilaha illallah maknanya adalah
tidak ada yang berkuasa atas penciptaan, pengaturan, mengadakan
(sesuatu) kecuali Allah l. Pemahaman semacam ini tidaklah benar.
Pemahaman seperti ini setali tiga uang dengan pemahaman agama
orang-orang musyrik. Dinyatakan oleh orang-orang musyrik: “Tidak ada
yang mampu/berkuasa atas penciptaan kecuali Allah.” “Tidak ada yang
menghidupkan kecuali Allah.” “Tidak ada yang mematikan kecuali Allah.”
“Tidak ada yang memberi rizki kecuali Allah.” Maka hal-hal tersebut
hanya sebatas menyentuh aspek-aspek tauhid Rububiyah semata. Tidak
termuat unsur-unsur tauhid Uluhiyah.
3. Tafsir Al-Jahmiyah dan Al-Mu’tazilah
Barangsiapa yang berjalan berdasar manhaj mereka, dia akan menafikan
(menolak, meniadakan) nama-nama dan sifat-sifat Allah l. Karena menurut
pemahaman mereka, seseorang yang menetapkan Al-Asma wa Shifat bagi Allah
l adalah seorang musyrik. Sedangkan yang dikategorikan sebagai orang
yang bertauhid menurut mereka adalah orang yang menafikan Al-Asma wa
Shifat dari Allah l.
4. Tafsir kalangan hizbiyyun dan Ikhwanul Muslimin (IM)
Di kalangan pergerakan dan IM, mereka memiliki pemahaman tentang Laa
ilaha illallah dengan makna La hukma illa lillah (Tidak hukum kecuali
milik Allah). Buah dari kekeliruan ini mengakibatkan mereka – walaupun
meyakini Tauhid Uluhiyyah dan Rububiyyah – lebih memfokuskan masalah
hakimiyyah ini yang terkadang mereka sebut dengan Al-Mulkiyyah. Hal itu
sangat nyata bila kita melihat gerakan dakwah mereka. ed). Pemahaman ini
disampaikan oleh Sayyid Quthb, seorang pentolan IM yang mengadopsi
pemikiran Abul A’la Al-Maududi (seorang pendiri gerakan Jamaah Al-Islami
di Pakistan).
Kata Al-Maududi, Al-Ilah adalah Al-Hakim (yang berkuasa). Pemikiran
Al-Maududi ini lahir karena dipengaruhi oleh pemikiran Hegel, seorang
filosof Jerman. (Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi dalam Adhwa` Islamiyyah hal.
59. Beliau menukil dari Shalahudin Maqbul dalam bukunya Da’wah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah wa Atsaruha fi Al-Harakat Al-Islamiyyah)
Menurut Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Al-Hakimiyyah sesuai namanya
merupakan bagian dari makna Laa ilaha illallah. Karena makna kalimat
tauhid secara sempurna adalah meliputi setiap bentuk peribadahan. Kalau
makna Laa ilaha illallah hanya dibatasi dengan makna Al-Hakim, maka
bagaimana dengan bentuk-bentuk peribadahan lainnya seperti ruku’, sujud,
menyembelih, nadzar, mahabbah (cinta), khauf (takut), isti’anah
(meminta pertolongan) dan lain-lain? Dan mana pula bentuk penafian
terhadap berbagai bentuk kesyirikan?
Asy-Syaikah Fauzan berkata: “Menafsirkan kalimat Laa ilaha illallah
dengan Al-Hakimiyyah merupakan tafsir yang pendek. Tidak memberikan
makna Laa ilaha illallah (secara sempurna).”
Adapun menafsirkan Laa ilaha illallah dengan Laa khaliqa illallah (tiada
pencipta selain Allah) adalah penafsiran yang batil, tidak semata
penafsiran yang pendek. Karena kalimat Laa ilaha illallah tidaklah
semata untuk menetapkan bahwa sesungguhnya tidak ada pencipta selain
Allah l. Penetapan semacam ini sudah dilakukan oleh kaum musyrikin
Quraisy dulu. Jadi, bila penetapan semacam ini benar maka menjadikan
kaum musyrikin sebagai muwahhidin (orang-orang yang bertauhid). Allah l
berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang
menciptakan mereka?’, niscaya mereka menjawab: ‘Allah’, maka
bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”
(Az-Zukhruf: 87)
Bila pemahaman Laa ilaha illallah adalah semacam itu, maka Abu Jahl dan
Abu Lahab termasuk orang yang bertauhid. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal.
118)
5. Tafsir Kalangan Sufi
Di kalangan Sufi, kalimat Laa ilaha illallah tidak diucapkan sempurna.
Mereka meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang teramat khusus,
istimewa (khawash al-khawash), sehingga mereka tak perlu mengucapkan
kalimat tauhid secara sempurna tapi mencukupkan diri mengucapkan Allahu,
Allahu. Begitulah dzikir mereka. Mereka berdzikir dengan mengucapkan
secara berulang kalimat Allahu, Allahu, Allahu…
Kalimat yang diucapkan itu merupakan isim mujarrad (sekedar menyebut
nama), yang tidak memberi faedah tauhid sedikitpun. Mestinya kalimat
tersebut harus dalam bentuk jumlah mufidah (kalimat yang sempurna)
sehingga memberi arti atau faedah.
Bahkan sebagian mereka tidak lagi mengucapkan lafzhul jalalah (Allahu),
tetapi hanya mengucapkan huwa, huwa, huwa, yang merupakan kata ganti
tunggal orang ketiga (dhamir ghaib). Tentu saja, inipun tidak memberikan
manfaat sedikitpun. Ini merupakan tindakan mempermainkan kalimat
tauhid. Lebih parah lagi, sebagian mereka tidak melafadzkan Allahu atau
huwa, namun hanya menyatakan dengan hatinya. (Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan dalam Tafsir Kalimat At-Tauhid hal. 132)
Bagaimana dengan pemahaman Ahlus Sunnah wa Jamaah? Inilah pemahaman yang benar dalam memahami kalimat tauhid.
Makna Laa ilaha illallah telah dijelaskan oleh Allah l dalam
ayat-ayat-Nya dan telah diterangkan pula oleh Rasulullah n dalam
hadits-hadits beliau.
Allah l berfirman:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An-Nisa`: 36)
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’.”
(An-Nahl: 36)
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
(Al-Bayyinah: 5)
Juga firman Allahl berkenaan dengan kekasih-Nya, Ibrahim q:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا
تَعْبُدُونَ. إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah,
tetapi (aku menyembah) Dzat Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia
akan memberi hidayah kepadaku’.” (Az-Zukhruf: 26-27)
Makna Laa ilaha illallah pun bisa dipahami dari ayat:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Sabda Rasulullah n:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ -وَفِي رِوَايَةٍ: إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ-
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa
ilaha illallah.” Dalam riwayat lain: “Sampai mereka mengesakan Allah.”
(HR. Al-Bukhari no. 1335, 2886 dan At-Tirmidzi no. 2606)
Rasulullah n telah menjelaskan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah
mengesakan Allah l dalam seluruh peribadahan. Makna Laa ilaha illallah
adalah tidak ada yang disembah secara haq kecuali Allah l. Yaitu dengan
mengikhlaskan atau memurnikan peribadahan hanya untuk Allah l semata,
termasuk di dalam tahkim asy-syari’ah (berhukum dengan syariat Allah l).
(Al-Ajwibah Al-Mufidah hal. 118)
Dengan ini dipahami bahwa kalimat tersebut mengandung pengertian
menafikan (menolak, menghilangkan) segala bentuk Ilah (sesembahan),
menafikan segala bentuk kesyirikan, dan menetapkan bahwa peribadahan itu
hanya bagi Allah l semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
CUMA CHATTING SAJA DI BAYAR DOLLAR, APA LAGI BISA SEKALIAN BELAJAR BAHASA INGGERIS DAN SPANYOL, KLIK SAJA JANGAN RAGU
0 comments:
Post a Comment