Monday, November 26, 2012

Mengenal NU dan Muhammadiyah




Saya mengenal NU dan Muhammadiyah sejak kecil. NU saya kenali dari ibu dan ayah saya sendiri, yang kebetulan cukup lama menjadi pengurus organisasi keagamaan ini. Sedangkan mengenal Muhammadiyah dari beberapa orang termasuk kakak saya yang ikut dalam gerakan organisasi ini. Anak-anak muda di desa saya, secara pelan tertarik pada Muhammadiyah, sekalipun kebanyakan orang tua masih bertahan di organisasi semula, Nahdlatul Ulama’ (NU). Anak muda yang tertarik masuk Muhammadiyah, saya yakin bukan karena argumentasi gerakan ini lebih kukuh dibandingkan yang lain, akan tetapi saya lihat lebih disebabkan oleh citra modern pimpinannya. Pimpinan Muhammadiyah adalah seorang pegawai kecamatan, yang tergolong kaya. Berbekal kekayaannya itu dia berhasil membangun pengaruh di kalangan anak-anak muda itu.

Sebagai anak pimpinan NU di tingkat kecamatan, saya agak sulit meninggalkan idiologi keagamaan orang tua saya. Dalam perasaan saya, ketika masih kecil itu, saya harus menjadi pembela faham keagamaan yang dianut oleh kedua orang tua. Cara itu saya rasakan sebagai bagian dari upaya berbakti kepadanya. Saya menyenangi bergaul dengan anak-anak muda yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh faham Muhammadiyah, akan tetapi semangat berbakti pada orang tua tidak mampu mengalahkan pengaruh itu.

Sebagai anak muda, saya merasa kurang senang dengan kritik-kritik yang biasa dilontarkan oleh orang-orang Muhammadiyah dalam berdakwah. Saya merasakan betul, bahwa kritik itu sesungguhnya ditujukan kepada orang tua saya sendiri. Orang Muhammadiyah dalam berdakwah tidak jarang menyampaikan kritik-kritik yang menyakitkan, misalnya menyebut kelompok tua sebagai orang kolot, kuno dan selalu menjalankan amalan yang berbau syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Kritik-kritik itu mungkin ada benarnya, akan tetapi jika hal itu didengarkan oleh kelompok tua, diarasakan sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan hati.

Sebaliknya, kritik-kritik itu sangat menyenangkan jika didengar oleh orang-orang yang sudah menjadi Muhammadiyah. Saya ketika itu juga kurang mengerti, mengapa dalam berdakwah melahirkan suasana menang dan kalah, dan bangga jika ceramahnya berhasil menyakiti orang. Jika seorang dalam berdakwah berani mengkritik kelompok lain, akan disorak-sorai sebagai tanda keberanian dan sekaligus kemenangan. Padahal semakin keras kritik yang dilontarkan, sasaran dakwah, yakni kelompok yang belum masuk organisasi itu, semakin antipati dan bahkan membencinya.

Kritik-kritik yang dilontarkan berhasil memperkukuh kohesifvitas internal orga nisasi. Akan tetapi, sebaliknya akan membuat semakin jauh orang-orang yang belum tertarik masuk pada organisasi Muhammadiyah. Kebencian yang ditimbulkan sebagai akibat kritik-kritik itu juga menunai hasil, yaitu berupa citra yang kurang baik bagi Muhammadiyah. Anak-anak Muhammadiyah, di kalangan oang tua dipandang sebagai anak yang kurang menghargai sopan santun atau tata krama dalam pergaulan. Sehingga, jika ada anak muda yang kurang tawadhu’ pada orang tua, segera disebut sebagai telah terpengaruh Muhammadiyah. Citra Muhammadiyah lantas bukan sebagai organisasi pembaharu yang memperjuangkan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh Rasulullah, melainkan justru sebagai kelompok yang kurang memiliki sopan santun kepada orang tua.

Dua jenis organisasi social keagamaan di tempat kelahiran saya sama-sama tumbuh. Jika disebut kelompok NU adalah merupakan kumpulan orang tua, sedangkan sebaliknya Muhammadiyah merupakan kumpulan anak-anak muda, maka pembedaan itu tidaklah mutlak benarnya. Tidak sedikit anak-anak muda yang masih bertahan di organisasi keagamaan sebelumnya, yakni NU dan ada pula orang tua yang berhasil terkena pengaruh Muhammadiyah. Kedua kelompok tersebut memiliki pengaruh yang sama kuat di desa itu.

Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di seputar ibadat, sesungguhnya tidak masuk hal yang bersifat prinsip. Perbedaan itu misalnya, dalam jumlah roka’at dalam sholat tarweh, menggunakan kunut dan tidak, menggunakan usholli dalam mengawali sholat atau tidak, sholat hari raya di masjid atau di lapangan, sholat jum’at menggunakan adzan sekali atau dua kali, pakai kopyah atau tidak dan semacamnya. Di luar peribadatan itu masih ada perbedaan lain, misalnya orang NU suka kenduri sedang orang Muhammadiyah tidak mau mengundang, tetapi masih mau diundang. Kesediaan menghadiri undangan kenduri bagi Muhammadiyah lantas juga melahirkan kritik dari orang-orang NU. Misalnya orang Muhammadiyah mau diberi tetapi tidak mau memberi.

Perbedaan faham keagamaan tersebut menjadikan masyarakat terprakmentasi secara tajam. Akan tetapi, sebagaimana masyarakat desa pada umumnya, masih memiliki lembaga yang mampu menyatukan di antara kelompok-kelompok itu. Misalnya, peristiwa pernikahan, khitanan, kematian, kegiatan desa yang terkait dengan pemerintahan dan sejenisnya. Betapapun tajamnya perbedaan itu tetapi dengan mudah dapat disatukan kembali.

Perbedaan pandangan itu, biasanya dilontarkan dalam bentuk sindiran dan bahkan juga ejekan. Sindiran atau ejekan kepada kelompok lain, jika dimaksudkan sebagai cara dakwah untuk membangun kesadaran orang lain, sesungguhnya justru kontra produktif. Sindiran atau ejekan itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kebencian. Dan seseorang yang dibuat benci tidak akan mengikuti pikiran, apalagi jejak langkah orang yang melontarkan kritik dan ejekan itu. Oleh karena itu, saya kira perkembangan dakwah Muhammadiyah yang tidak terlalu berhasil dengan cepat, sebagai salah satu sebabnya, cara dakwahnya dilakukan melalui kritik-kritik itu.

Gambaran tentang NU dan Muhammadiyah seperti itulah yang saya lihat dan rasakan t tatkala saya masih tinggal di desa, semasa remaja. Saya juga belum tertarik dengan Muhammadiyah ketika itu, dan bahkan ada perasaan kurang bersimpatik jika mereka mengkritik ayah saya terlalu tajam. Saya berpandangan ketika itu, jika saja faham keagamaan itu disampaikan dengan pendekatan yang tepat, sehingga tidak melukai hati atau perasaan orang, maka saya berkeyakinan Muhammadiyah akan segera diterima masyarakat lebih cepat dan semakin meluas.

Mengikuti konsep yang akhir-akhir ini dilontarkan oleh beberapa anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang dakwah cultural, mungkin itu lebih tepat dijalankan. Saya berkeyakinan, andaikan Muhammadiyah menggunakan pendekatan kultural, dan tidak melakukan pendekatan menang kalah sebagaimana yang banyak dilakukan pada saat itu, maka faham ini tidak akan menemui resistensi yang cukup kuat. Tokh perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya juga tidaklah terlalu mendasar. Apalagi NU sendiri sesungguhnya sangat toleran terhadap perbedaan itu. Mereka sudah terbiasa dengan pandangan berbagai imam madzhab, sehingga apa yang diintrodusir oleh Muhammadiyah sesungguhnya juga bukan dianggap hal baru. Jika ketika itu kegiatan dakwah dilakukan dengan hati-hati, ------tidak terasakan nuansa menang dan kalah, maka umat Islam tidak akan terpolarisasi sebagaimana yang terjadi sekarang ini, yang ternyata tidak mudah untuk diutuhkan kembali.

Semangat dan gerakan dakwah, menyampaikan risalah rasulullah, sebagaimana telah banyak dilakukan, baik oleh NU maupun Muhammadiyah adalah merupakan misi yang sangat terpuji dan mulia. Akan tetapi, menurut al Qur’an dan juga Hadits Nabi hal itu harus dilakukan dengan penuh hikmah, agar jangan sampai menimbulkan perasaan sakit hati, yang kemudian berujung terjadi perpecahan. Selain itu, apapun dalih yang digunakan, semestinya cara-cara dakwah tidak boleh mengganggu kesatuan dan persatuan umat Islam. Umat Islam harus tetap bersatu. Begitulah pesan al Qur’an maupun tauladan Rasulullah saw. Allahu a’lam
 
 
 
 
 
 

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates