Cerita Rakyat “Si Pitung”:
Pada jaman penjajahan belanda dahulu, di daerah Jakarta (dahulu
Batavia) hiduplah seorang pria gagah yang bernama si Pitung. Dia lahir
dari pasangan suami istri yang bernama pak Piun dan bu Pinah. Pekerjaan
pak Piun sehari-hari adalah bertani.
Setiap hari si Pitung membantu bapaknya menanam padi, memetik kelapa
dan mencari rumput untuk pakan ternaknya. Si Pitung juga tak segan untuk
membantu tetangganya yang memerlukan bantuan. Tiap hari si Pitung juga
sangat rajin menunaikan sholat dan puasa, bapaknya juga selalu
mengajarkan si Pitung untuk bertutur kata yang santun, dan patuh kepada
orang tua.
Si Pitung dan keluarganya tinggal di kampung Rawabelong, daerah
kebayoran. Daerah itu adalah bagian dari daerah kekuasaan tuan tanah
yang bernama babah Liem Tjeng Soen,oleh karena itu semua warga yang
tinggal di situ wajib membayar pajak kepada babah Liem. Hasil pajak
tanah tersebut nantinya akan disetorkan kepada Belanda.
Dalam memungut pajak, babah Liem dibantu oleh anak buahnya yang
berasal dari kalangan pribumi. Anak buah yang diangkat babah Liem adalah
kaum pribumi yang pandai bersilat dan memainkan senjata. Tujuannya
adalah supaya para penduduk tidak berani melawan dan membantah pada saat
dipungut pajak.
Hingga pada suatu hari, saat si Pitung membantu bapaknya mengumpulkan
hasil panen dari sawah. Sesampainya di rumah, betapa terkejutnya si
Pitung melihat anak buah babah Liem sedang marah-marah kepada bapaknya.
Si Pitung lalu menghampiri bapaknya, dan bertanya kepada anak buah babah
Liem, “Hey, apa salah bapak saya?” “Tanya saja sama bapakmu ini!!”,
jawab anak buah babah Liem.
Anak buah babah Liem lalu pergi dengan membawa semua hasil panen yang
telah dikumpulakan si Pitung dan bapaknya. Dengan nada geram, si Pitung
berbicara dalam hatinya, “Nantikan pembalasanku!!”
Hingga keesokan harinya saat si Pitung berjalan menyusuri kampung,
dia melihat kesewenang-wenangan anak buah babah Liem lagi. Mereka
merampas ayam, kambing, kelapa, dan padi dari penduduk, tanpa rasa iba.
Sebagai warga yang merasa bertanggung jawab atas keamanan, maka si
Pitung tidak tinggal diam. Si Pitung lalu menghampiri anak buah babah
Liem, lalu berteriak “Hentikan pengecut!! Kenapa kalian merampas harta
orang lain?!”
Para anak buah babah Liem kemudian menoleh kearah si Pitung. “Siapa
kamu ini, berani-beraninya mencegah kami? Kamu tidak tahu siapa kami
ini?”,teriak anak buah babah Liem.
“Saya tidak peduli siapa kalian, tapi perbuatan kalian itu sangatlah kejam dan tidak berperi kemanusiaan!”, jawab si Pitung.
Mendengar perkataan si Pitung, pemimpin anak buah babah Liem menjadi
geram. Ia lalu menghampiri si Pitung, dan menyerang sekenanya saja. Ia
mengira bahwa Pitung akan mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya,
Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya ke tanah hingga
pingsan. Anak buah babah Liem yang lain menghentikan kesibukan mereka
dan mengepung Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima
orang yang mengeroyoknya. Satu demi satu ia hajar pelipis atau tulang
kering mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka menggotong
pimpinan centeng yang masih pingsan dan melarikan diri.
Sebelum pergi, mereka mengancam: “Awas, nanti kami laporkan Demang.”
Beberapa hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi pembicaraan
di seluruh Kebayoran. Namun, Pitung tak gentar dan tetap bersikap
tenang. Ia bahkan tidak menghindar kalau ada orang yang bertanya
kepadanya tentang kejadian itu.
Suatu hari, Pak Piun menyuruh si Pitung menjual kambing ke Pasar
Tanah Abang. Pak Piun sedang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Si Pitung pun pergi ke tanah abang untuk menjual dua
kambingnya itu. Tanpa sepengetahuan si Pitung, ternyata ada satu orang
anak buah babah Liem yang membuntutinya sejak berangkat dari rumah tadi.
Hingga pada saat si Pitung mandi di sungai dan berwudhu, anak buah
babah Liem tadi mencuri uang hasil penjualan kambing dari saku bajunya
yang diletakkakn di pinggir sungai.
Sesampainya di rumah, si Pitung sangatlah kaget. Karena uang hasil
penjualan kambing tidak ada di sakunya lagi. Dengan geram ia kembali ke
Pasar Tanah Abang dan mencari orang yang telah mencuri uangnya. Setelah
melakukan penyelidikan, ia menemukan orang itu. Orang itu sedang
berkumpul di sebuah kedai kopi.
Si Pitung mendatanginya dan menghardik, “Kembalikan uangku!”
Salah seorang berkata sambil tertawa, “Kamu boleh ambil uang ini, tapi kamu harus menjadi anggota kami.”
“Tak sudi aku jadi anggota kalian,” jawab si Pitung.
Para anak buah babah Liem itu marah mendengar jawaban si Pitung.
Serentak mereka menyerbu Pitung. Namun, yang mereka hadapi adalah Si
Pitung dari Kampung Rawabelong yang pernah menghajar enam orang centeng
Babah Liem sendirian. Akibatnya, satu demi satu mereka kena pukulan Si
Pitung.
Sejak hari itu, Si Pitung memutuskan untuk membela orang-orang yang
lemah. Ia tak tahan lagi melihat penderitaan rakyat jelata, yang
ditindas tuan tanah dan dihisap oleh penjajah Belanda. Beberapa anak
buah babah Liem yang pernah dihajarnya ada yang insyaf dan ia mengajak
mereka untuk membentuk suatu kelompok. Bersama kelompoknya, ia merampoki
rumah-rumah orang kaya dan membagi-bagikan harta rampasannya kepada
orang-orang miskin dan lemah.
Nama Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Para tuan tanah
dan orang-orang yang mengambil keuntungan dengan cara memihak Belanda
menjadi tidak nyaman. Mereka mengadukan permasalahan itu kepada
pemerintah Belanda.
Penguasa penjajah di Batavia pun memerintahkan aparat-aparatnya untuk
menangkap Si Pitung. Schout Heyne, komandan Kebayoran, memerintahkan
mantri polisi untuk mencari tahu di mana si Pitung berada. Schout Heyne
menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yang mau memberi tahu
keberadaan si Pitung
Mengetahui dirinya menjadi buron, Pitung berpindah-pindah tempat dan
ia tetap membantu rakyat. Harta rampasan dari orang kaya selalu ia
berikan kepada rakyat yang lemah dan tertindas oleh penjajahan.
Pada suatu hari, Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi
belanda. Waktu itu si Pitung beserta kelompoknya akan merampok rumah
seorang demang, tapi ternyata polisi belanda sudah lebih dulu
bersembunyi di sekitar rumah demang itu. Ketika kelompok Pitung tiba,
polisi segera mengepung rumah itu. Pitung membiarkan dirinya tertangkap,
sementara teman-temannya berhasil meloloskan diri. Akhirnya si Pitung
dibawa ke penjara dan disekap di sana.
Karena si Pitung adalah seorang yg cerdik dan sakti, maka dia
berhasil meloloskan diri lewat genteng pada malam hari saat penjaga
sedang istirahat. Pada pagi harinya, para penjaga menjadi panik karena
si Pitung tidak ada di dalam penjara lagi.
Kabar lolosnya si Pitung membuat polisi belanda dan orang-orang kaya
menjadi tidak tenteram lagi. Kemudian Schout Heyne memerintahkan orang
untuk menangkap orang tua dan guru si Pitung. Mereka dipaksa para polisi
untuk memberitahukan keberadaan Si Pitung sekarang. Namun, mereka tetap
bungkam. Akibatnya, mereka pun dimasukkan kedalam penjara.
Mendengar kabar bahwa orang tua dan gurunya ditangkap polisi belanda,
lalu si Pitung mengirim pesan kepada pihak belanda. Ia mengatakan akan
menyerahkan diri bila orang tua dan gurunya itu dibebaskan. Kesepakatan
tersebut kemudian disetujui oleh Schout Heyne.
Kemudian pada hari yang telah disepakati, mereka bertemu di tanah
lapang. Orang tua si Pitung dilepaskan dahulu. Kini tinggal Haji Naipin
yang masih bersama polisi belanda. Di tanah lapang itu, sepasukan polisi
menodongkan senjata ke arah Haji Naipin.
“Lepaskan Haji Naipin sekarang juga”, kata si Pitung.
“Aku akan melepaskan gurumu ini setelah engkau benar-benar menyerah”, kata Schout Heyne.
Mendengar persyaratan yang diajukan Schout Heyne, lalu si Pitung maju
ke tengah lapangan. Dengan sigap, pasukan polisi lalu membidikkan
senjata mereka kearah si Pitung.
“Akhirnya tertangkap juga kamu, Pitung!” teriak Schout Heyne dengan nada sombong.
“Iya, tapi nanti aku pasti akan lolos lagi. Dengan orang pengecut
seperti kalian, yang beraninya hanya mengandalkan anak buah, aku tidak
takut,” jawab si Pitung.
Mendengar kata-kata si Pitung, Schout Heyne menjadi marah. Ia mundur
beberapa langkah dan memberi aba-aba agar pasukannya bersiap menembak.
Haji Naipin yang masih ada di situ memprotes tindakan yang pengecut itu.
Namun protes dari Haji Naipin tidak didengarkan, dan aba-aba untuk
menembak si Pitung sudah diteriakkan. Akhirnya si Pitung gugur bersimbah
darah.
Orang tua dan guru si Pitung merasa sangat sedih sekali melihat si
Pitung akhirnya gugur di tangan polisi belanda. Banyak rakyat yang turut
mengiringi pemakamannya dan mendoakannya. Mereka berjanji akan selalu
mengingat jasa Si Pitung, pembela dan pelindung mereka, dan tetap akan
menganggap si Pitung sebagai pahlawan betawi.
0 comments:
Post a Comment