Penulis: Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain (Murid Ulama Besar Saudi Arabia, Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan)
Berikut beberapa kiat yang insya Allah, sangat memudahkan seorang hamba untuk melaksanakan shalat malam.
Pertama: mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah sebagaimana Dia telah memerintahkan dalam firman-Nya,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ.
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (hal menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” [Al-Bayyinah: 5]
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ.
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (hal menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” [Al-Bayyinah: 5]
Kedua: mengetahui keutamaan qiyamul lail dan kedudukan orang-orang yang mengerjakan ibadah tersebut di sisi Allah Ta’ala.
Hal
tersebut karena siapa saja yang mengetahui keutamaan ibadah shalat
malam, dia akan bersemangat untuk bermunajat kepada Rabb-nya dan
bersimpuh dengan penuh penghambaan kepada-Nya. Hal ini tentunya dengan
mengingat semua keutamaan yang telah diterangkan pada awal pembahasan
buku ini.
Ketiga: meninggalkan dosa dan maksiat karena dosa dan maksiat akan memalingkan hamba dari kebaikan.
Ketiga: meninggalkan dosa dan maksiat karena dosa dan maksiat akan memalingkan hamba dari kebaikan.
Al-Fudhail
bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Apabila tidak mampu mengerjakan
shalat malam dan puasa pada siang hari, engkau adalah orang yang
terhalang dari (kebaikan) lagi terbelenggu. Dosa-dosamu telah
membelenggumu.” [1]
Keempat: menghadirkan di dalam diri bahwa Allah yang menyuruhya untuk menegakkan shalat malam itu. Bila seorang hamba menyadari bahwa Rabb-nya, yang Maha Kaya lagi tidak memerlukan sesuatu apapun dari hamba, telah memerintahnya untuk mengerjakan shalat malam itu, hal itu tentu menunjukkan anjuran yang sangat penting bagi hamba guna mendapatkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Bukankah Allah telah menyeru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau dalam firman-Nya,
Keempat: menghadirkan di dalam diri bahwa Allah yang menyuruhya untuk menegakkan shalat malam itu. Bila seorang hamba menyadari bahwa Rabb-nya, yang Maha Kaya lagi tidak memerlukan sesuatu apapun dari hamba, telah memerintahnya untuk mengerjakan shalat malam itu, hal itu tentu menunjukkan anjuran yang sangat penting bagi hamba guna mendapatkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Bukankah Allah telah menyeru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau dalam firman-Nya,
يَا
أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا. نِصْفَهُ أَوِ
انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ
تَرْتِيلًا.
“Wahai
orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk mengerjakan shalat)
pada malam hari, kecuali sedikit (dari malam itu), (yaitu) seperduanya
atau kurangilah sedikit dari seperdua itu, atau lebih dari seperdua itu.
Dan bacalah Al-Qur`an itu dengan perlahan-lahan.” [Al-Muzzammil: 1-4]
Kelima: memperhatikan keadaan kaum salaf dan orang-orang shalih terdahulu, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan setelahnya, tentang keseriusan mereka dalam hal mendulang pahala shalat malam ini.
Kelima: memperhatikan keadaan kaum salaf dan orang-orang shalih terdahulu, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan setelahnya, tentang keseriusan mereka dalam hal mendulang pahala shalat malam ini.
Abu
Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku adalah penasihat untuk kalian lagi orang yang sangat
mengasihi kalian, kerjakanlah shalat oleh kalian pada kegelapan malam
guna kengerian (alam) kuburan, berpuasalah di dunia untuk terik panas
hari kebangkitan, dan bersedekahlah sebagai rasa takut terhadap hari
yang penuh dengan kesulitan. Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku
adalah penasihat untuk kalian lagi orang yang sangat mengasihi kalian.”
[2]
Tsabit bin Aslam Al-Bunany rahimahullah berkata, “Tidak ada hal lezat yang saya temukan dalam hatiku melebihi qiyamul lail.” [3]
Sufyan
Ats-Tsaury rahimahullah berkata, “Apabila malam hari datang, saya pun
bergembira. Bila siang hari datang, saya bersedih.” [4]
Hisyam
bin Abi Abdillah Ad-Dastuwa`iy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
Allah mempunyai hamba-hamba yang menolak tidur pada malam hari karena
mengkhawatirkan kematian saat mereka tidur.” [5]
Abu
Sulaiman Ad-Darany rahimahullah berkata, “Ahli ketaatan merasa lebih
lezat dengan malam hari mereka daripada orang yang lalai dengan
kelalaiannya. Andaikata bukan karena malam hari, niscaya saya tidak suka
tetap hidup di dunia.” [6]
Ketika
Yazid Ar-Raqasy rahimahullah mendekati ajalnya, tampak tangisan dari
beliau. Saat ditanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab,
“Demi Allah, saya menangisi segala hal yang telah saya telantarkan
berupa shalat lail dan puasa pada siang hari.” Beliau juga berkata, “…
Wahai saudara-saudaraku, janganlah kalian tertipu dengan waktu muda
kalian. Sungguh, bila sesuatu yang menimpaku, berupa kedahsyatan perkara
(kematian) dan beratnya kepedihan maut, telah menimpa kalian, pastilah
(kalian) hanya (akan berpikir) untuk keselamatan dan keselamatan, untuk
kehati-hatian dan kehati-hatian. Bersegeralah, wahai saudara-saudaraku
–semoga Allah merahmati kalian-.” [7]
Ishaq
bin Suwaid Al-Bashry rahimahullah berkata, “Mereka (para Salaf)
memandang bahwa tamasya (itu) adalah dengan berpuasa pada siang hari dan
mengerjakan shalat pada malam hari.” [8]
Adalah
Malik bin Dinar rahimahullah tidak tidur pada malam hari. Ketika
ditanya, “Mengapa saya melihat manusia tidur pada malam hari, sedangkan
engkau tidak?” Beliau menjawab, “Ingatan tentang neraka Jahannam tidak
membiarkan aku untuk tidur.” [9]
Mu’adzah
bintu Abdillah rahimahallah -yang menghidupkan malamnya dengan
mengerjakan ibadah- berkata, “Saya takjub kepada mata (seseorang) yang
tertidur, sedang dia mengetahui akan panjangnya tidur pada kegelapan
kubur.” [10]
Keenam: mengenal semangat syaithan untuk memalingkan manusia dari qiyamul lail. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Keenam: mengenal semangat syaithan untuk memalingkan manusia dari qiyamul lail. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَعْقِدُ
الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ ثَلاَثَ عُقَدٍ إِذَا
نَامَ بِكُلِّ عُقْدَةٍ يَضْرِبُ عَلَيْكَ لَيْلاً طَوِيلاً فَإِذَا
اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ وَإِذَا تَوَضَّأَ
انْحَلَّتْ عُقْدَتَانِ فَإِذَا صَلَّى انْحَلَّتِ الْعُقَدُ فَأَصْبَحَ
نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ
“Syaithan
mengikat tengkuk kepala salah seorang dari kalian sebanyak tiga ikatan
ketika orang itu sedang tidur. Dia memukul setiap tempat ikatan (seraya
berkata), ‘Malam yang panjang atas engkau, maka tidurlah.’ Apabila orang
itu bangun kemudian menyebut nama Allah, terlepaslah satu ikatan.
Apabila orang itu berwudhu, terlepaslah satu ikatan (yang lain). Apabila
orang itu mengerjakan shalat, terlepaslah seluruh ikatannya. Orang
itupun berada pada pagi hari dengan semangat dan jiwa yang baik. Kalau
tidak (mengerjakan amalan-amalan tadi), orang itu akan berada pada pagi
hari dalam keadaan jiwa yang jelek dan pemalas.” [11]
Ketujuh: memendekkan angan-angan dan banyak mengingat kematian. Ini adalah kaidah yang akan memacu semangat hamba dalam pelaksanaan ketaatan dan menghilangkan rasa malas. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang bahuku seraya berkata,
Ketujuh: memendekkan angan-angan dan banyak mengingat kematian. Ini adalah kaidah yang akan memacu semangat hamba dalam pelaksanaan ketaatan dan menghilangkan rasa malas. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang bahuku seraya berkata,
كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
‘Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau pengembara yang sekedar berlalu.’.”
Adalah
Ibnu Umar berkata setelah itu, “Apabila berada pada waktu sore,
janganlah engkau menunggu waktu pagi, dan, jika engkau berada pada waktu
pagi, janganlah engkau menunggu waktu sore. Ambillah dari waktu sehatmu
untuk waktu sakitmu, dan ambillah dari kehidupanmu untuk kematianmu.”
[12]
Kedelapan: mengingat nikmat kesehatan dan waktu luang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kedelapan: mengingat nikmat kesehatan dan waktu luang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat yang banyak manusia melalaikannya: kesehatan dan waktu luang.” [13]
Dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Rasulullah bersabda kepada seorang lelaki sembari menasihati
lelaki tersebut,
اغْتَنِمْ
خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ ، وَصِحَتَكَ قَبْلَ
سَقَمِكَ ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ،
وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan
lima perkara dengan segera sebelum (datang) lima perkara; waktu mudamu
sebelum (datang) waktu tuamu, kesehatanmu sebelum (datang) sakitmu,
kekayaanmu sebelum (datang) kefakiranmu, waktu luangmu sebelum (datang)
waktu sibukmu, dan kehidupanmu sebelum (datang) kematianmu.” [14]
Kesembilan: segera tidur pada awal malam. Dalam hadits Abi Barzakh radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
Kesembilan: segera tidur pada awal malam. Dalam hadits Abi Barzakh radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Adalah
(Rasulullah) membenci tidur sebelum (mengerjakan shalat) Isya dan
berbincang-bincang setelah (mengerjakan shalat Isya) tersebut.” [15]
Kesepuluh: menjaga etika-etika tidur yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti tidur dalam keadaan berwudhu, membaca “tiga qul” (yakni surah Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas), ayat kursi, dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah, dzikir-dzikir yang disyariatkan untuk dibaca ketika tidur, serta tidur dengan bertumpu di atas rusuk kanan.
Kesebelas: menghindari berbagai sebab yang mungkin melalaikan seorang hamba terhadap shalat malamnya. Para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab tersebut adalah terlalu banyak makan dan minum, terlalu meletihkan diri pada siang hari dengan berbagai amalan yang tidak bermanfaat, tidak melakukan qailulah (tidur siang), dan selainnya.
Kesepuluh: menjaga etika-etika tidur yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti tidur dalam keadaan berwudhu, membaca “tiga qul” (yakni surah Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas), ayat kursi, dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah, dzikir-dzikir yang disyariatkan untuk dibaca ketika tidur, serta tidur dengan bertumpu di atas rusuk kanan.
Kesebelas: menghindari berbagai sebab yang mungkin melalaikan seorang hamba terhadap shalat malamnya. Para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab tersebut adalah terlalu banyak makan dan minum, terlalu meletihkan diri pada siang hari dengan berbagai amalan yang tidak bermanfaat, tidak melakukan qailulah (tidur siang), dan selainnya.
Demikian
beberapa pembahasan berkaitan dengan tuntunan Qiyamul Lail dan shalat
Tarawih. Mudah-mudahan risalah ini bermanfaat untuk seluruh kaum
muslimin dan bisa menjadi pedoman dalam hal menghidupkan malam-malam
penuh berkah pada bulan Ramadhan dan seluruh bulan lain. Amin, Ya Rabbal
‘Alamin. Wallahu Ta’ala A’lam.
___________
Catatan kaki:
[1] Al-Hilyah karya Abu Nu’aim 8/96.
[2] Az-Zuhd karya Al-Imam Ahmad hal. 148 -dengan perantaraan Ruhbanul Lail 1/328-.
[3] Lihatlah Sifat Ash-Shafwah 2/262 karya Ibnul Jauzy.
[4] Bacalah Al-Jahr wa At-Ta’dil 1/85 karya Ibnu Abi Hatim.
[5]
Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya, dalam Kitab At-Tahajjud wa Qiyamil
Lail no. 61, dan Muhammad bin Nashr Al-Marwazy, sebagaimana dalam
Mukhtashar Qiyamul Lail hal. 57.
[6]
Disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/275, Ibnul Jauzy dalam
Sifat Ash-Shafwah 2/262, dan Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad 10/248.
[7] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya 65/92.
[8] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam Kitab At-Tahajjud wa Qiyamil Lail no. 35.
[9]
Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya, dalam Kitab At-Tahajjud wa Qiyamil
Lail no. 59, dan Muhammad bin Nashr Al-Marwazy, sebagaimana dalam
Mukhtashar Qiyamul Lail hlm. 76.
[10] Siyar A’lam An-Nubala` 4/509.
[11] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah.
[12]
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah, hanya saja
Ibnu Majah tidak menyebutkan ucapan Ibnu ‘Umar. Selain itu, ada tambahan
pada akhir riwayat hadits beliau, “… dan hitunglah dirimu dari penghuni
kubur.”
[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.
[14] Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Albany.
[15] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah.
0 comments:
Post a Comment