Konon,
barang siapa melakukan ritual dengan rasa kepasrahan dan pengharapan
yang tinggi maka akan terkabul permintaannya, terutama menyangkut
masalah kekayaan. Mitos seputar pesugihan Gunung kawi ini diyakini
banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah merasakan "berkah"
berziarah ke Gunung Kawi. Namun bagi kalangan rasionalis-positivis, hal
ini merupakan isapan jempol belaka.
Biasanya lonjakan pengunjung
yang melakukan ritual terjadi pada hari Jumat Legi (hari pemakaman Eyang
Jugo) dan tanggal 12 bulan Suro (memperingati wafatnya Eyang Sujo).
Ritual dilakukan dengan meletakkan sesaji, membakar dupa, dan bersemedi
selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.
Di dalam bangunan makam,
pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta
disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di depan makam. Hal ini
menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus suci lahir dan batin sebelum
berdoa.
Selain pesarean sebagai fokus
utama tujuan para pengunjung, terdapat tempat-tempat lain yang
dikunjungi karena 'dikeramatkan' dan dipercaya mempunyai kekuatan magis
untuk mendatangakan keberuntungan, antara lain:
1. Rumah Padepokan Eyang Sujo
Rumah padepokan ini semula
dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo yang bernama Ki Maridun.
Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang dikeramatkan milik
Eyang Sujo, antara lain adalah bantal dan guling yang berbahan batang
pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa perang Diponegoro.
2. Guci Kuno
Dua buah guci kuno merupakan
peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno ini dipakai untuk
menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering menyebutnya
dengan nama 'janjam'. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri
pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini
akan membuat seseorang menjadi awet muda.
3. Pohon Dewandaru
Di area pesarean, terdapat pohon
yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon
dewandaru, pohon kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini
oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang
Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini
aman.
Untuk mendapat 'simbol perantara
kekayaan', para peziarah menunggu dahan, buah dan daun jatuh dari
pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Untuk
memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun itu dibungkus dengan
selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet.
Namun, untuk mendapatkan daun
dan buah dewandaru diperlukan kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam,
bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Bila harapan mereka terkabul,
para peziarah akan datang lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran.
Siapakah sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo?
Yang dimakamkan dalam satu liang
lahat di pesarean Gunung Kawi ini? Menurut Soeryowidagdo (1989), Eyang
Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo atau Raden Mas Iman Sudjono
adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1830 saat
perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran Diponegoro
tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan Eyang Sujo
mengasingkan diri ke wilayah Gunung Kawi ini.
Semenjak itu mereka berdua tidak
lagi berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi mengubah perjuangan
melalui pendidikan. Kedua mantan bhayangkara balatentara Pangeran
Diponegoro ini, selain berdakwah agama islam dan mengajarkan ajaran
moral kejawen, juga mengajarkancara bercocok tanam, pengobatan, olah
kanuragan serta ketrampilan lain yang berguna bagi penduduk setempat.
Perbuatan dan karya mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah
tersebut, sehingga banyak masyarakat dari daerah kabupaten Malang dan
Blitar datang ke padepokan mereka untuk menjadi murid atau pengikutnya.
Setelah Eyang Jugo meninggal
tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo tahun 1876, para murid dan
pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan, pengikut
dan juga para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan
peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam eninggalnya Eyang Jugo, dan
juga peringatan wafatnya Eyang Sujo etiap tanggal 1 bulanSuro
(muharram), di tempat ini selalu diadakan erayaan tahlil akbar dan
upacara ritual lainnya. Upacara ini iasanya dipimpin oleh juru kunci
makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.
Tidak ada persyaratan khusus
untuk berziarah ke tempat ini, hanya membawa bunga sesaji, dan
menyisipkan uang secara sukarela. Namun para peziarah yakin, semakin
banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin banyak berkah yang akan
didapat. Untuk masuk ke makam keramat, para peziarah bersikap seperti
hendak menghadap raja, mereka berjalan dengan lutut.
Hingga dewasa ini pesarean
tersebut telah banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan dari berbagai
lapisan masyarakat. Mereka bukan saja berasal dari daerah Malang,
Surabaya, atau daerah lain yang berdekatan dengan lokasi pesarean,
tetapi juga dari berbagai penjuru tanah air. Heterogenitas pengunjung
seperti ini mengindikasikan bahwa sosok kedua tokoh ini adalah tokoh
yang kharismatik dan populis.
Namun di sisi lain, motif para
pengunjung yang datang ke pesarean ini pun sangat beragam pula. Ada yang
hanya sekedar berwisata, mendoakan leluhur, melakukan penelitian
ilmiah, dan yang paling umum adalah kunjungan ziarah untuk memanjatkan
doa agar keinginan lekas terkabul.
Wisata Ziarah Pesugihan Gunung Kawi
Pepatah populer di kalangan
warga Tionghoa ini bisa menjelaskan kenapa Gunung Kawi di Desa Wonosari,
Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sangat populer. Kawi
bukan gunung tinggi, hanya sekitar 2.000 meter, juga tidak indah. Tapi
gunung ini menjadi objek wisata utama masyarakat Tionghoa.
Tiap hari ratusan orang
Tionghoa, termasuk orang pribumi naik ke Gunung Kawi. Masa liburan plus
cuti bersama Lebaran ini sangat ramai. Karena terkait dengan kepercayaan
Jawa, Kejawen, maka kunjungan biasanya dikaitkan dengan hari-hari
pasaran Jawa: Jumat Legi, Senin Pahing, Syuro, dan Tahun Baru.
Penginapan
lebih dari 10 buah, dengan tarif Rp 30.000 hingga Rp 200.000. Restoran
Tionghoa yang menawarkan sate babi dan makanan tidak halal (buat muslim)
cukup banyak. Tukang ramal nasib. Penjual kembang untuk nyekar. Penjual
alat-alat sembahyang khas Tionghoa. Belum lagi warung nasi dan
sebagainya.
Warga Jawa Timur kerap mencitrakan Gunung Kawi sebagai tempat pesugihan. Tapi, bagi kalangan kejawen, penggiat budaya Jawa, Gunung Kawi lebih dilihat sebagai tempat pelestarian budaya Jawa. Banyak ritual kejawen diadakan di sini secara teratur dan diikuti aktivis budaya Jawa di seluruh Pulau Jawa.
Kalau masuk makam dua makam
tokoh yang telah dijelaskan diatas, pengunjung harus membeli kembang.
Sebelumnya, bayar retribusi untuk Desa Wonosari Rp 2.000. Lalu,
menyerahkan KTP (kartu tanda penduduk) atau identitas lain pada satpam
untuk didaftar nama dan alamat. Sumbang lagi uang tapi sukarela. Jangan
kaget kalau anda menjumpai banyak sumbangan atau retribusi di aset
wisata Kabupaten Malang ini.
Saat saya masuk ke kompleks
Gunung Kawi, hampir 99 persen warga keturunan Tionghoa. Anak-anak,
remaja, profesional muda, hingga kakek-nenek. Orang-orang itu
bersembahyang layaknya di kelenteng. Masuk ke makam, jalan keliling
makam, sambil membuat gerakan menyembah macam di kelenteng. Tidak ada
arahan atau instruksi, mereka semua melakukan gerakan-gerakan itu.
Hampir tidak ada Tionghoa itu
yang beragama Islam. Kok begitu menghormati dan sembahyangan di depan
makam Imam Soedjono dan Mbah Djoego? Apa mereka tahu siapa yang
dimakamkan di situ? Belum lagi kalau kita bahas secara teologi Islam
atau Kristiani tentang boleh tidaknya melakukan ritual di Gunung Kawi.
Para pemandu wisata di Gunung
Kawi berusaha tidak menyinggung kepercayaan atau agama orang lain.
Selain sensitif, mereka tak ingin bisnis mereka terganggu. Harus diakui,
warga Desa Wonosari mendapat banyak berkah dari objek wisata Gunung
Kawi. Tak sedikit penduduk mengais rezeki di kawasan Gunung Kawi mulai
pemandu wisata, penjual bunga, warung, satpam, parkir, dan sebagainya.
Selain berdoa sendiri-sendiri,
Yayasan Gunung Kawi menawarkan paket ritual tiga kali sehari: pukul
10.00, pukul 15.00, pukul 21.00. Ritual ini dipimpin dukun atau tukang
doa setempat, namun harus pakai sesajen untuk selamatan. Siapa yang mau
ikut harus mendaftar dulu di loket.
Tarif barang-barang selamatan
ditulis jelas di loket yang bagus. Ada dua tipe selamatan agar keinginan
anda (dapat rezeki, usaha lancar) tercapai. Bagi mereka yang percaya.
- Pesugihan Gunung Kawi
- Pengunjung antre membeli keperluan ritual.
Apa saja item selamatan? Berikut beberapa item yang umum digunakan :
* Minyak tanah
* Solar
* Minyak goreng
* Beras
* Kambing
* Sapi
* Ayam
* Wayang kulit
* Ruwatan
(Masih ditambah beberapa elemen
lain yang sudah tentu menguras dompet pengunjung. Toh, antrean sangat
panjang dari saudara-saudari kita yang hendak memburu rezeki di Gunung
Kawi)
Melihat nilai rupiah itu,
benar-benar membuat kita geleng-geleng kepala. Berdoa kok mahal amat?
Apa ada jaminan jadi kaya? Apa Tuhan perlu begitu banyak sayur, makanan,
daging, wayang kulit, ruwatan...? Kalau kita miskin, tak punya uang,
apa harus utang untuk membeli barang-barang itu?
Di luar kompleks makam, ada
Kelenteng Kwan Im. Lilin-lilin merah, besar, terus bernyala. Puluhan
warga Tionghoa secara bergantian berdoa di sana. Disana juga ada ciamsi,
ajang meramal nasib ala Tionghoa.
Sekitar enam kilometer dari
kompleks makam ada pertapaan Gunung Kawi. Jalannya bagus. Kompleks ini
pun penuh dengan ornamen Tionghoa. Di ruang utama ada tiga dukun yang
siap menerima kedatangan tamu, berdoa agar rezeki lancar. Tapi sebelum
itu si dukun membeberkan tarif selamatan yang jutaan rupiah seperti
tertera di daftar harga di atas. warungbebas.
0 comments:
Post a Comment