Peristiwa Rengasdengklok
adalah peristiwa dimulai dari “penculikan” yang dilakukan oleh
sejumlah pemuda (Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari perkumpulan “Menteng 31“)
terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16
Agustus 1945 pukul 04.00. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke
Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sampai dengan terjadinya
kesepa-katan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta
Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan
dilaksanakan.
Menghadapi
desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian.
Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun
rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan
tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota PETA mendukung
rencana tersebut.
Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik semakin jelas dengan dijatuhkannya bom atom oleh Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Akibat peristiwa tersebut, kekuatan Jepang makin lemah. Kepastian berita kekalahan Jepang terjawab ketika tanggal 15 Agustus 1945 dini hari, Sekutu mengumumkan bahwa Jepang sudah menyerah tanpa syarat dan perang telah berakhir.
Berita tersebut diterima melalui siaran radio di Jakarta oleh para
pemuda yang termasuk orang-orang Menteng Raya 31 seperti Chaerul Saleh,
Abubakar Lubis, Wikana, dan lainnya. Penyerahan Jepang kepada Sekutu
menghadapkan para pemimpin Indonesia pada masalah yang cukup berat.
Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Jepang
masih tetap berkuasa atas Indonesia meskipun telah menyerah, sementara
pasukan Sekutu yang akan menggantikan mereka belum datang. Gunseikan
telah mendapat perintah-perintah khusus agar mempertahankan status quo
sampai kedatangan pasukan Sekutu. Adanya kekosongan kekuasaan
menyebabkan munculnya konflik antara golongan muda dan golongan tua
mengenai masalah kemerdekaan Indonesia.
Golongan muda menginginkan agar proklamasi kemerdekaan segera
dikumandangkan. Mereka itu antara lain Sukarni, B.M Diah, Yusuf Kunto,
Wikana, Sayuti Melik, Adam Malik, dan Chaerul Saleh. Sedangkan golongan
tua menginginkan proklamasi kemerdekaan harus dirapatkan dulu dengan
anggota PPKI. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Ahmad
Subardjo, Mr. Moh. Yamin, Dr. Buntaran, Dr. Syamsi dan Mr. Iwa
Kusumasumantri. Golongan muda kemudian mengadakan rapat di salah satu
ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta pada tanggal
15 Agustus 1945 pukul 20.00 WIB.
Rapat tersebut dipimpin oleh Chaerul Saleh yang menghasilkan keputusan
tuntutan-tuntutan golongan muda yang menegaskan bahwa kemerdekaan
Indonesia adalah hal dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak dapat
digantungkan kepada bangsa lain. Segala ikatan, hubungan dan janji
kemerdekaan harus diputus, dan sebaliknya perlu mengadakan perundingan
dengan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta agar kelompok pemuda
diikutsertakan dalam menyatakan proklamasi.
Langkah selanjutnya malam itu juga sekitar jam 22.00 WIB Wikana dan Darwis mewakili kelompok muda mendesak Soekarno agar bersedia melaksanakan proklamasi kemer-dekaan Indonesia secepatnya lepas dari Jepang.
Ternyata usaha tersebut gagal. Soekarno tetap tidak mau
memproklamasikan kemerdekaan. Kuatnya pendirian Ir. Soekarno untuk tidak
memproklamasikan kemerdekaan sebelum rapat PPKI menyebabkan golongan
muda berpikir bahwa golongan tua mendapat pengaruh dari Jepang.
Selanjutnya golongan muda mengadakan rapat di Jalan Cikini 71 Jakarta
pada pukul 24.00 WIB menjelang tanggal 16 Agustus 1945. Mereka membawa
Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Rapat tersebut menghasilkan
keputusan bahwa Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta harus diamankan dari
pengaruh Jepang. Tujuan para pemuda mengamankan Soekarno Hatta ke
Rengasdengklok antara lain:
- agar kedua tokoh tersebut tidak terpengaruh Jepang, dan
- mendesak keduanya supaya segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia terlepas dari segala ikatan dengan Jepang.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Hatta tidak dapat
ditemukan di Jakarta. Mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, di
antaranya Sukarni, Yusuf Kunto, dan Syudanco Singgih, pada malam
harinya ke garnisun PETA (Pembela Tanah Air) di Rengasdengklok, sebuah
kota kecil yang terletak sebelah Utara Karawang.
Pemilihan Rengasdengklok sebagai tempat pengamanan Soekarno Hatta,
didasarkan pada perhitungan militer. Antara anggota PETA Daidan
Purwakarta dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak keduanya
melakukan latihan bersama. Secara geografis, Rengasdengklok letaknya
terpencil, sehingga dapat dilakukan deteksi dengan mudah setiap gerakan
tentara Jepang yang menuju Rengasdengklok, baik dari arah Jakarta,
Bandung, atau Jawa Tengah. Mr. Ahmad Subardjo, seorang tokoh golongan
tua merasa prihatin atas kondisi bangsanya dan terpanggil untuk
mengusahakan agar proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan secepat
mungkin. Untuk tercapainya maksud tersebut, Soekarno Hatta harus segera
dibawa ke Jakarta.
Akhirnya Ahmad Subardjo, Sudiro, dan Yusuf Kunto segera menuju
Rengasdengklok. Rombongan tersebut tiba di Rengasdengklok pukul 17.30
WIB. Peranan Ahmad Subardjo sangat penting dalam peristiwa kembalinya
Soekarno Hatta ke Jakarta, sebab mampu meyakinkan para pemuda bahwa
proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan keesokan harinya paling lambat
pukul 12.00 WIB, nyawanya sebagai jaminan. Akhirnya Subeno sebagai
komandan kompi Peta setempat bersedia melepaskan Soekarno Hatta ke
Jakarta.
Para Pemuda Pejuang di Rengasdengklok
Beberapa orang pemuda yang terlibat dalam peristiwa Rengasdengklok ini antara lain:- Soekarni
- Jusuf Kunto
- Chaerul Saleh
- Shodancho Singgih, perwira PETA dari Daidan I Jakarta sebagai pimpinan rombongan penculikan.
- Shodancho Sulaiman
- Chudancho Dr. Soetjipto
- Chudancho Subeno sebagai pemimpin Cudan Rengasdengklok (setingkat kompi). Chudan Rengasdengklok memiliki 3 buah Shodan (setingkat pleton) yaitu Shodan 1 dipimpin Shodancho Suharjana, Shodan 2 dimpimpin Shodancho Oemar Bahsan dan Shodan 3 dipimpin Shodancho Affan.
- Honbu (staf) yang dipimpin oleh Budancho Martono.
- Kiki Abdul Gani.
0 comments:
Post a Comment